Halaman

Sabtu, 09 Juli 2016

mengelola fluktuasi taqwa pasca Ramadhan



mengelola fluktuasi taqwa pasca Ramadhan

FADHILAH PUASA
Umat Islam mengenal betul dengan ayat Al-Qur’an tentang puasa, yaitu [QS Al Baqarah (2) : 183] : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,”. Serta masih berlanjut dengan ayat berikutnya atau diperkuat dengan ayat di surat yang lain. Karena untuk melaksanakan ayat tersebut dibutuhkan waktu satu bulan penuh, di bulan Ramadhan. Diperlukan pendalaman yang berlanjut pada hadits tentang puasa.

Daya tarik puasa wajib di bulan Ramadhan umat Islam mulai memantapkan iman karena ada hadits atau sunah Rasul yang diriwayatkan langsung oleh nabi Muhammad saw dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman yang artinya : “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung”. (HR Bukhari dalam Shahihnya: 7/226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Hadits ini yang mengandung fadhilah puasa dan keistimewaannya dibandingkan dengan ibadah lainnya, dalam arti bahwa Allah swt telah mengkhususkan ibadah puasa ini hanya untuk-Nya. Allah membagi bonus Ramadhan, berupa pahala ibadah sunah di bulan Ramadhan, sama dengan pahala ibadah wajib di luar Ramadhan.

Juga harus dimaknai bahwa untuk menjalankan perintah puasa harus dilandasi iman. Puasa Ramadhan lebih absah jika diawali dengan niat. Menegakkan ibadah puasa bukan sekedar menggugurkan kewajiban. Bukan sekedar menyiasati pola dan jam makan. Bukan sekedar mengatur ulang waku dan jam tidur.

CIRI ORANG BERIMAN
Secara kebahasaan, atau hukum DM, ataukah dalam Islam (memang) ada hukum sebab-akibat atau kausalitas, seolah kewajiban puasa Ramadhan hanya untuk orang-orang yang beriman.  Langkah awal dan pertama untuk memahami, mencerna maupun memaknai ayat tersebut, kita mulai dengan mengupas apa itu “Hai orang-orang yang beriman,”.  Kita lanjut ke surat/ayat [QS Al Anfaal (6) : 2-4] : Sesungguhnya orang-orang yang berimana) ialah mereka yang bila disebut nama Allahb) gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”

a)     Maksudnya: orang yang sempurna imannya.
b)     Dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakanNya.

Ayat ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin. Iman tidak sekedar kesaksian hati. Iman dibuktikan serta  ditindaklanjuti dengan berbagai persyaratan dan laku yang dibutuhkan. Tindakan atau amalan berbasis iman dilakukan tiap hari, bahkan dalam satuan waktu tertentu, yaitu sholat fardhu 5 (lima) waktu. Menafkahkan rezeki sesuai syariat Islam sebagai ikhtiar memperkuat dan meningkatkan iman.

PROSESI RAMADHAN
Masuknya agama Islam di Nusantara tak lepas dari strategi para penyebarnya yang memanfaatkan adat istiadat yang dipegang teguh oleh penduduk saat itu. Hubungan manusia dengan  manusia lainya, interaksi manusia dengan lingkungan sudah diatur dan dipegang teguh oleh masyarakat. Islam sebagai agama samawi tidak serta merta mengislamkan penganut agama bumi secara frontal, drastis, radikal, ekstrem apalagi dengan gaya saling libas, gaya iming-iming duniawi atau menawarkan berbagai kemudahan lainnya. Tak ada istilah barter aqidah.

Prosesi Ramadhan sejak sambut sampai selamat tinggal tak lepas dari pelestarian budaya, kearifan dan kecerdasan lokal. Tiap daerah, terlebih yang masih ada sistem kerajaan, kesultanan, kesunanan, prosesi Ramdahan dan terutama sambut Sawal menjadi sedemikan maraknya. Seolah menjadi acara semua umat. Memang begitulah kenyataannya, semua umat otomatis terlibat dalam hakikat Ramadhan dan Syawal.

Kita acap lupa bahwa nikmat Ramadhan adalah ketika kita masih bisa masuk dan menikmati bulan Ramdhan yang sedang berjalan. Tak kurang, yang tahun kemarin sempat menikmati Ramadhan bersama, tahun ini sudah tidak bisa ikut serta. Tak kurang Ramadhan ini kita baru bisa merasakan nikmatnya. Ironis, jika yang berpengalaman dengan puasa Ramadhan, menghadapi pasca Ramadahan mungkin bersikap seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.

LAGA 11 BULAN
Jika "syawal" berarti peningkatan, maka sungguh tak layak jika kita malah mengalami penurunan signifikan selepas Ramadhan. Derajat taqwa kita mengalami pasang surut, atau menurun secara perlaha dan tak terasa. Berharap Ramadhan yang akan datang berkesempatan memompa kembali, meningkatkan derajat dan kadar taqwa.

1 Syawal sebagai hari wisuda,  Idul Fitri atau kembali ke fitrah (awal kejadian) akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah, diikuti dengan termaafkannya dosa dan kesalahan kita kepada sesama manusia, dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain. Menghadapi 1 Syawal penuh pengorbanan, termasuk “mengorbankan” 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Bulan Syawal sebagai masa transisi, sebagai eveluasi diri, apakah kita sudah cukup modal serta siapkah kita mengarungi dan menarungi kehidupan dunia 11 bulan ke depan. Tak kurang yang merasa telah lepas dari beban berat pernik-pernik syarat sahnya puasa Ramadhan. Tak kurang pula yang kembali ke posisi awal dengan melanjutkan tradisi hariannya.

Pasca Ramadhan, diharapkan orang-orang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Di mata Allah, kemuliaan seseorang tergantung dan ditentukan oleh ketaqwaannya, tersurat pada sebagian terjemahan (QS Al Hujuraat [49] : 13) : “. . . Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. . . .”

ANTISIPASI PERMINTAAN PASAR
1 Syawal menjadi perayaan nasional. Negara disibukkan dengan yang mudik dan balik. Pembangunan infastruktur seolah ditujukan untuk kenyamanan pemudik. Setelah itu terserah pada kejadian alam. Menjadi tangung jawab mereka yang berjibaku di bidang ekonomi, jual beli barang/jasa maupun pelaku ekonomi lainnya.

Menghadapi kenyataan hidup, banyak manusia mudah berkeluh kesah, fasih menggerutu dan mengumpat, gampang meratapi nasib, lancar menyalahkan keadaan. Lebih berani lagi, dengan enteng kata menyalahkan Allah, yang dianggap tidak adil, yang dituduh pilih kasih. Merasa sudah bekerja mati-matian, setengah mati bahkan ada yang mati beneran, seolah nasibnya tak berubah. Falsafah manusia punya rencana, Allah yang menentukan, sudah difahami sejak kecil. Praktiknya, manusia lebih percaya pada permintaan pasar, pada aturan main yang dibentuk oleh pemain pasar kehidupan.

Persaingan hidup menjadikan tolok ukur keberhasilan adalah sukses duniawi. Disebutkan, jika ada anak manusia merasa sukses dunia, dengan tenang mengikrarkan bahwa semua yang diraih, berkat kerja kerasnya. Bekerja tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak pandang tempat, sekaligus tak paham siapa sang pemberi rezeki. Mereka menganggap bahwa perjuangan hidup bersifat matematis, siapa berikhtiar tentu akan berhasil, mendapatkan hasil sesuai keinginan. Siapa menanam, nantinya akan memetik hasilnya, akan panen.

Pasca Ramadhan terasa ada perubahan drastis. Acara dan pengisi acara di media TV yang sarat suasana islami, mendadak ganti kontrak. Kembali ke keadaan semula yang normal tanpa norma, yang penting peringkat, pesan sponsor dan masukan finansial.

Begitu juga dengan umat manusia. Begitu melangkahkan kaki keluar halaman rumah, iman dan taqwa ditinggal di rumah. Mau tak mau memakai aturan main, mulai adab berlalu-lintas sampai aturan main atau standar operasional prosedur dan kode etik di tempat kerja. Argo kehidupan menghadapi persaingan bebas mulai beroperasi kembali.

Kita berada ditengah-tengah, wajib usaha pasca Ramadhan dengan tetap menghadirkan dan mengutamakan iman dan taqwa serta hasilnya menjadi hak prerogatif Allah. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar