mengelola fluktuasi taqwa pasca Ramadhan
FADHILAH PUASA
Umat Islam mengenal betul dengan ayat Al-Qur’an tentang puasa, yaitu [QS Al Baqarah (2) :
183] : “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa,”. Serta masih berlanjut dengan ayat berikutnya atau
diperkuat dengan ayat di surat yang lain. Karena untuk melaksanakan ayat
tersebut dibutuhkan waktu satu bulan penuh, di bulan Ramadhan. Diperlukan
pendalaman yang berlanjut pada hadits tentang puasa.
Daya tarik puasa wajib di bulan
Ramadhan umat Islam mulai memantapkan iman karena ada hadits atau sunah Rasul yang diriwayatkan langsung oleh nabi Muhammad
saw dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman yang artinya : “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah
untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung”.
(HR Bukhari dalam Shahihnya: 7/226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
Hadits ini yang mengandung fadhilah puasa dan
keistimewaannya dibandingkan dengan ibadah lainnya, dalam arti bahwa Allah swt
telah mengkhususkan ibadah puasa ini hanya untuk-Nya. Allah membagi bonus
Ramadhan, berupa pahala ibadah sunah di bulan Ramadhan, sama dengan pahala
ibadah wajib di luar Ramadhan.
Juga harus dimaknai bahwa untuk menjalankan perintah
puasa harus dilandasi iman. Puasa Ramadhan lebih absah jika diawali dengan niat.
Menegakkan ibadah puasa bukan sekedar menggugurkan kewajiban. Bukan sekedar
menyiasati pola dan jam makan. Bukan sekedar mengatur ulang waku dan jam tidur.
CIRI ORANG BERIMAN
Secara kebahasaan, atau hukum DM,
ataukah dalam Islam (memang) ada hukum sebab-akibat atau kausalitas, seolah
kewajiban puasa Ramadhan hanya untuk orang-orang yang beriman. Langkah awal dan pertama untuk memahami,
mencerna maupun memaknai ayat tersebut, kita mulai dengan mengupas apa itu “Hai
orang-orang yang beriman,”. Kita lanjut ke surat/ayat [QS Al Anfaal (6) :
2-4] : “Sesungguhnya
orang-orang yang berimana) ialah mereka yang bila disebut
nama Allahb) gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah
mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
a) Maksudnya:
orang yang sempurna imannya.
b) Dimaksud dengan
disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan
memuliakanNya.
Ayat ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin. Iman tidak
sekedar kesaksian hati. Iman dibuktikan serta
ditindaklanjuti dengan berbagai persyaratan dan laku yang dibutuhkan.
Tindakan atau amalan berbasis iman dilakukan tiap hari, bahkan dalam satuan
waktu tertentu, yaitu sholat fardhu 5 (lima) waktu. Menafkahkan rezeki sesuai
syariat Islam sebagai ikhtiar memperkuat dan meningkatkan iman.
PROSESI RAMADHAN
Masuknya agama Islam di Nusantara tak lepas dari strategi
para penyebarnya yang memanfaatkan adat istiadat yang dipegang teguh oleh
penduduk saat itu. Hubungan manusia dengan
manusia lainya, interaksi manusia dengan lingkungan sudah diatur dan
dipegang teguh oleh masyarakat. Islam sebagai agama samawi tidak serta merta
mengislamkan penganut agama bumi secara frontal, drastis, radikal, ekstrem apalagi
dengan gaya saling libas, gaya iming-iming duniawi atau menawarkan berbagai
kemudahan lainnya. Tak ada istilah barter aqidah.
Prosesi Ramadhan sejak sambut sampai selamat tinggal tak
lepas dari pelestarian budaya, kearifan dan kecerdasan lokal. Tiap daerah,
terlebih yang masih ada sistem kerajaan, kesultanan, kesunanan, prosesi
Ramdahan dan terutama sambut Sawal menjadi sedemikan maraknya. Seolah menjadi
acara semua umat. Memang begitulah kenyataannya, semua umat otomatis terlibat
dalam hakikat Ramadhan dan Syawal.
Kita acap lupa bahwa nikmat Ramadhan adalah ketika kita
masih bisa masuk dan menikmati bulan Ramdhan yang sedang berjalan. Tak kurang,
yang tahun kemarin sempat menikmati Ramadhan bersama, tahun ini sudah tidak
bisa ikut serta. Tak kurang Ramadhan ini kita baru bisa merasakan nikmatnya. Ironis,
jika yang berpengalaman dengan puasa Ramadhan, menghadapi pasca Ramadahan mungkin
bersikap seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.
LAGA 11 BULAN
Jika
"syawal" berarti peningkatan, maka sungguh tak layak jika kita malah
mengalami penurunan signifikan selepas Ramadhan. Derajat taqwa kita mengalami
pasang surut, atau menurun secara perlaha dan tak terasa. Berharap Ramadhan
yang akan datang berkesempatan memompa kembali, meningkatkan derajat dan kadar
taqwa.
1 Syawal sebagai hari
wisuda, Idul Fitri atau kembali ke fitrah (awal kejadian) akan sempurna
tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah, diikuti dengan termaafkannya dosa
dan kesalahan kita kepada sesama manusia, dengan jalan kita memohon maaf dan
memaafkan orang lain. Menghadapi 1 Syawal penuh pengorbanan, termasuk
“mengorbankan” 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Bulan Syawal sebagai
masa transisi, sebagai eveluasi diri, apakah kita sudah cukup modal serta
siapkah kita mengarungi dan menarungi kehidupan dunia 11 bulan ke depan. Tak
kurang yang merasa telah lepas dari beban berat pernik-pernik syarat sahnya
puasa Ramadhan. Tak kurang pula yang kembali ke posisi awal dengan melanjutkan
tradisi hariannya.
Pasca Ramadhan,
diharapkan orang-orang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Di mata
Allah, kemuliaan seseorang tergantung dan ditentukan oleh ketaqwaannya,
tersurat pada sebagian terjemahan (QS Al Hujuraat [49] : 13) : “. . . Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu. . . .”
ANTISIPASI PERMINTAAN PASAR
1 Syawal menjadi perayaan nasional. Negara disibukkan
dengan yang mudik dan balik. Pembangunan infastruktur seolah ditujukan untuk
kenyamanan pemudik. Setelah itu terserah pada kejadian alam. Menjadi tangung
jawab mereka yang berjibaku di bidang ekonomi, jual beli barang/jasa maupun
pelaku ekonomi lainnya.
Menghadapi kenyataan
hidup, banyak manusia mudah berkeluh kesah, fasih menggerutu dan mengumpat, gampang
meratapi nasib, lancar menyalahkan keadaan. Lebih berani lagi, dengan enteng kata
menyalahkan Allah, yang dianggap tidak adil, yang dituduh pilih kasih. Merasa
sudah bekerja mati-matian, setengah mati bahkan ada yang mati beneran, seolah
nasibnya tak berubah. Falsafah manusia punya rencana, Allah yang menentukan,
sudah difahami sejak kecil. Praktiknya, manusia lebih percaya pada permintaan
pasar, pada aturan main yang dibentuk oleh pemain pasar kehidupan.
Persaingan hidup
menjadikan tolok ukur keberhasilan adalah sukses duniawi. Disebutkan, jika ada
anak manusia merasa sukses dunia, dengan tenang mengikrarkan bahwa semua yang
diraih, berkat kerja kerasnya. Bekerja tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak
pandang tempat, sekaligus tak paham siapa sang pemberi rezeki. Mereka
menganggap bahwa perjuangan hidup bersifat matematis, siapa berikhtiar tentu
akan berhasil, mendapatkan hasil sesuai keinginan. Siapa menanam, nantinya akan
memetik hasilnya, akan panen.
Pasca Ramadhan terasa
ada perubahan drastis. Acara dan pengisi acara di media TV yang sarat suasana
islami, mendadak ganti kontrak. Kembali ke keadaan semula yang normal tanpa
norma, yang penting peringkat, pesan sponsor dan masukan finansial.
Begitu juga dengan umat
manusia. Begitu melangkahkan kaki keluar halaman rumah, iman dan taqwa
ditinggal di rumah. Mau tak mau memakai aturan main, mulai adab berlalu-lintas
sampai aturan main atau standar operasional prosedur dan kode etik di tempat
kerja. Argo kehidupan menghadapi persaingan bebas mulai beroperasi kembali.
Kita berada
ditengah-tengah, wajib usaha pasca Ramadhan dengan tetap menghadirkan dan
mengutamakan iman dan taqwa serta hasilnya menjadi hak prerogatif Allah. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar