aliran politik bawah sadar
Dampak, efek, ekses pingitan kebebasan berpolitik selama
era Orde Baru, diluar dugaan. Bukan sekedar di luar akal, nalar, logika anak
bangsa yang lebih berorientasi kepada orang daripada kepada sistem. Orang yang
selama itu merasa tersanjung, karena mengedepankan gila hormat sekaligus gila
jabatan, tetap tak sadar bahwa zaman telah berubah. Rakyat yang mempunyai hak
pilih semakin sadar dan cerdas politik.
Bukan tiba-tiba, bukan tanpa sebab, SBY muncul
dipermukaan panggung politik Nusantara yang hanya dipenuhi pemain lama dengan
hafalan lama. Terjadi pembaruan politik secara drastis. Banyak yang tidak siap.
Sejalan perjalanan waktu dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, muncul
petarung politik yang modal nekat, berani malu dan tak ukur baju.
Periode 2014-2019 anak manis pdip yang patuh, taat,
tunduk, loyal pada oknum ketum pdip, semakin dewasa semakin merajuk ingin
lebih. Sudah jadi presiden, lupa berdiri, bahkan kebelet jadi presiden lagi. Bukannya
pdip miskin nyali dan tajinya kurang tajam. “Atas petunjuk ketua umum” menjadi
ajian, jimat dan primbon hidup kawanan pdip.
Jokowi piawai memanfaatkan sikon dimana parpol sudah
kehabisan energi ideologi. Dukungan nyata parpol hanya pamrih di pesta
demokrasi 2019. Memberi amunisi ke Jokowi dengan tujuan ybs akan tertarik dalam
gerbong atau syukur-syukur sebagai pasangan Jokowi. Itulah politik. Kalkulasi
politik memang menghalalkan segala tindakan, terlebih diperkuat dengan bahasa
politik.
Langkah catur Jokowi memasang mantan jenderal di kabinet kursi,
merupakan strategi dan tak-tik jitu “nabok nyilih tangan” sekaligus
memperkecil peluang sang jenderal jadi pesaing di 2019. Disinilah beda akal
politik Jokowi dengan Megawati. Kita masih salut saat itu ajudan presiden RI
kelima, beripar dengan SBY (?). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar