antisipasi efek domino gaya
radikal, ekstrem, fanatik ideologi partai penguasa
Zaman Orde Lama, ruang gerak dan jalur politik dibingkai dalam format
Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Berakhitr drastis dengan makar kedua kalinya
PKI pada tanggal 30 September 1965. Pemberontakan pertama di Madiun 18
September 1948. Peralihan kepemimpinan nasional memanfaatkan peristiwa G30S
PKI. Muncullah zaman Orde Baru dengan
senjata Pancasila Sakti.
Zaman Orde Baru, pemerintah
bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat
UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah
Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI
dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Golkar menyediakan
dan menyerahkan dirinya sebagai kendaraan politik Soeharto, dengan kompensasi
politik sampai tingkat kelurahan/desa.
Era
Reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, ketika people power dengan gemilang berhasil me-lengserkeprabon-kan bapak pembangunan, jenderal besar Soeharto dari
kursi RI-1 kedua. Digantilanjutkan oleh wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menjadi RI-1 ketiga sampai habis periodenya.
Tak terendus awak media massa
berbayar maupun survey tanpa survey, betapa kelakuan politik anak bangsa yang
menunjukkan jati diri, citra rasa, aroma irama dan watak aslinya. Mulai dengan
mudah, leluasa, santai tanpa pikir panjang mendirikan partai politik sampai ampuhnya, digdayanya jabatan ketua
umum dengan hak prerogatif.
Jangan
lupa, watak asli dimaksud adalah alih kepimpinan nasional dari periode yang
sedang berkuasa ke penggantinya, tidak pernah dilakukan atau dihadiri oleh
oknum pejabat lama. Kondisi ini semakin menjadikan bukti bahwa partai politik
tidak siap menang. Tujuan utama ikut pesta demokrasi hanya meraih suara terbanyak,
langsung berkipas-kipas. Tidak didukung konsep politik yang jelas, bermanfaat
dan mudah dicerna rakyat.
Kita masih
ingat betapa Margaret
Thatcher hanya mendapat satu
pengakuan, yaitu sesuai berita www.tempo.co - SELASA,
09 APRIL 2013 | 06:24 WIB - Satu yang paling diingat dari Thatcher adalah
julukannya sebagai Iron Lady alias Wanita Besi. Julukan
ini awalnya diberikan oleh wartawan militer asal Uni Soviet, Kapten Yuri
Gavrilov, lantaran konsistensi Thatcher menentang Uni Soviet dan komunisme.
Julukan ini pertama kali muncul di harian Red Star pada 1976.
Thatcher bersikap tegas
karena dunia politik yang keras dan didominasi laki-laki. Suatu saat ia pernah
berujar, “Dalam politik, jika kamu ingin sesuatu, tanyakan pada pria. Tapi jika
kamu ingin sesuatu beres, tanya pada wanita,” katanya.
Margaret Thatcher versi Nusantara, terbalik 180 derajat, sangat kontradiksi. Karena terkenal
gila sanjung, gila hormat. Menunggu lama orang memuji dirinya, akhirnya tanpa
sungkan ybs memuja sekaligus memuji dirinya sebagai yang mengandalkan rupa,
masuk kategori anak cerdas sehingga bebas SPP, dan sederet puja puji diri yang
tidak ada di kamus gaul manapun. Merasa dirinya mampu tampil di depan, di balik
nama besar nenek moyangnya.
Jargon ABS utawa ‘Asal Bapak Senang’ sudah usang. Disederhanakan menjadi semboyan “pejah gesang nderek parpol”. Rakyat tidak tahu apa bedanya pihak
yang menghujat dengan pihak yang menjilat. Semua sama-sama tidak pro-rakyat.
Mereka ada di elit partai, bak buih di ombak lautan yang sedang pasang. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar