Halaman

Minggu, 10 Juli 2016

antisipasi efek domino gaya radikal, ekstrem, fanatik ideologi partai penguasa



antisipasi efek domino gaya radikal, ekstrem, fanatik ideologi partai penguasa

Zaman Orde Lama, ruang gerak dan jalur politik dibingkai dalam format Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Berakhitr drastis dengan makar kedua kalinya PKI pada tanggal 30 September 1965. Pemberontakan pertama di Madiun 18 September 1948. Peralihan kepemimpinan nasional memanfaatkan peristiwa G30S PKI.  Muncullah zaman Orde Baru dengan senjata Pancasila Sakti.

Zaman Orde Baru, pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Golkar menyediakan dan menyerahkan dirinya sebagai kendaraan politik Soeharto, dengan kompensasi politik sampai tingkat kelurahan/desa.

Era Reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, ketika people power dengan gemilang berhasil me-lengserkeprabon-kan bapak pembangunan, jenderal besar Soeharto dari kursi RI-1 kedua. Digantilanjutkan oleh wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menjadi RI-1 ketiga sampai habis periodenya.

Tak terendus awak media massa berbayar maupun survey tanpa survey, betapa kelakuan politik anak bangsa yang menunjukkan jati diri, citra rasa, aroma irama dan watak aslinya. Mulai dengan mudah, leluasa, santai tanpa pikir panjang mendirikan partai politik  sampai ampuhnya, digdayanya jabatan ketua umum dengan hak prerogatif.

Jangan lupa, watak asli dimaksud adalah alih kepimpinan nasional dari periode yang sedang berkuasa ke penggantinya, tidak pernah dilakukan atau dihadiri oleh oknum pejabat lama. Kondisi ini semakin menjadikan bukti bahwa partai politik tidak siap menang. Tujuan utama ikut pesta demokrasi hanya meraih suara terbanyak, langsung berkipas-kipas. Tidak didukung konsep politik yang jelas, bermanfaat dan mudah dicerna rakyat.

Kita masih ingat betapa Margaret Thatcher hanya mendapat satu pengakuan, yaitu sesuai berita www.tempo.co - SELASA, 09 APRIL 2013 | 06:24 WIB - Satu yang paling diingat dari Thatcher adalah julukannya sebagai Iron Lady alias Wanita Besi. Julukan ini awalnya diberikan oleh wartawan militer asal Uni Soviet, Kapten Yuri Gavrilov, lantaran konsistensi Thatcher menentang Uni Soviet dan komunisme. Julukan ini pertama kali muncul di harian Red Star pada 1976.

Thatcher bersikap tegas karena dunia politik yang keras dan didominasi laki-laki. Suatu saat ia pernah berujar, “Dalam politik, jika kamu ingin sesuatu, tanyakan pada pria. Tapi jika kamu ingin sesuatu beres, tanya pada wanita,” katanya.

Margaret Thatcher versi Nusantara, terbalik 180 derajat, sangat kontradiksi. Karena terkenal gila sanjung, gila hormat. Menunggu lama orang memuji dirinya, akhirnya tanpa sungkan ybs memuja sekaligus memuji dirinya sebagai yang mengandalkan rupa, masuk kategori anak cerdas sehingga bebas SPP, dan sederet puja puji diri yang tidak ada di kamus gaul manapun. Merasa dirinya mampu tampil di depan, di balik nama besar nenek moyangnya.

Jargon ABS utawa Asal Bapak Senang sudah usang. Disederhanakan menjadi semboyan “pejah gesang nderek parpol”. Rakyat tidak tahu apa bedanya pihak yang menghujat dengan pihak yang menjilat. Semua sama-sama tidak pro-rakyat. Mereka ada di elit partai, bak buih di ombak lautan yang sedang pasang. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar