Halaman

Jumat, 29 Juli 2016

Mewujudkan Kabinet Kursi



Mewujudkan Kabinet Kursi


Rakyat Indonesia yang sudah menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi di era Reformasi, sudah mampu membedakan mana emas mana loyang. Di pihak lain, tampilan peserta pesta demokrasi notabene orang partai politik, sudah terbaca mana yang sejati, tulen, asli, 24 karat dengan mana yang imitasi, sepuhan, polesan, kanibal atau campuran mendongkrak kadar, abal-abal, menang nama atau menang merek, atau yang populis.

Sudah rahasia umum bahwa dampak negatif, efek domino politik transaksional, politik bagi hasil pesta demokrasi 2014 secara perlahan pasti akan terbukti. Praktik politik balas jasa sekaligus balas dendam. Diperparah dengan juara umum pesta demokrasi 2014 atau pemilu legilatif 9 April 2014 tidak siap menang. Tidak siap dengan kader yang layak tanding di pilpres 9 Juli 2014. Lebih miris lagi, mereka tidak punya konsep berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang mengutamakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera.

Pemerintah 2014-2019 sarat dengan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang datangnya bukan dari lawan politik, justru dari orang alam, dari ring satu atau lingkaran yang dekat istana.  Asas “no free lunch” – tidak ada makan siang gratis – menjadi andalan relawan tim sukses Jokowi-JK.  Secara sistematis, masif dan berkelanjutan pemerintah Jokowi-JK mengalami pengeroposan, pelapukan  dari dalam. Koalisi Partai Pendukung Pemerintah ada yang berurusan dengan KPK atau pihak yang berwajib.

Memang Jokowi tidak menggunakan aji-aji yang perbah dipakai saat jadi walikota Surakarta dan saat sebagai gubernur DKI Jakarta, yaitu ‘tinggal glanggang. colong playu”. Artinya akan turun di engah jalan sebelum jatuh tempo. Karena rumput tetangga tidak ada yang lebih hijau. Jokowi malah siap dengan peribahasa “belum meminang sudah menimang”.

Jokowi sudah mampu menerawang peta politik Nusantara. Bagaimana tabiat parpol yang berpengalaman di kawah Candradimuka Orde Baru. Bagaimana modus operandi parpol yang didirikan oleh sisa-sisa reformis. Terlebih parpol tanpa landasan ideologi, yang hanya mengandalkan kekuatan modal dan dana.

Perombakan kabinet kerja episode kedua, walau dengan dalih agar pembangunan ekonomi tidak mangkrak, membuktikan dugaan awal bahwa periode 2014-2019 akan terjadi bagaimana cara memperlakukan lawan politik, melalui perpaduan gaya Orde Lama yaitu “hantam kromo” dengan senyum sang jenderal yang bersiasat “kalau tak bisa dirangkul pakai cara didengkul”. Sejarah sudah membuktikan.

Tidak percuma Jokowi blusukan, kunker (kunjungan kerja), sosialisasi atau turun kesana turun kesini, ngecek harga sembako di pasar tradisional.  Niat Jokowi adalah agar bisa sampai batas akhir periode dan minat kuatnya adalah berlanjut melenggang ke periode berikutnya. Langkah dan gaya Jokowi menjadikan lawan politik sekaligus loyalisnya menjadi tak sempat berfikir. Mereka dininabobokan dengan pembagian jatah kursi kekuasaan. Partai politik yang sudah kehabisan energi politiknya, tanpa sadar telah menjadi kendaraan politik Jokowi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar