Mewujudkan Kabinet Kursi
Rakyat
Indonesia yang sudah menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi di era
Reformasi, sudah mampu membedakan mana emas mana loyang. Di pihak lain,
tampilan peserta pesta demokrasi notabene orang partai politik, sudah terbaca
mana yang sejati, tulen, asli, 24 karat dengan mana yang imitasi, sepuhan, polesan,
kanibal atau campuran mendongkrak kadar, abal-abal, menang nama atau menang merek, atau
yang populis.
Sudah
rahasia umum bahwa dampak negatif, efek domino politik transaksional, politik
bagi hasil pesta demokrasi 2014 secara perlahan pasti akan terbukti. Praktik
politik balas jasa sekaligus balas dendam. Diperparah dengan juara umum pesta
demokrasi 2014 atau pemilu legilatif 9 April 2014 tidak siap menang. Tidak siap
dengan kader yang layak tanding di pilpres 9 Juli 2014. Lebih miris lagi,
mereka tidak punya konsep berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang
mengutamakan masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Pemerintah
2014-2019 sarat dengan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang datangnya
bukan dari lawan politik, justru dari orang alam, dari ring satu atau lingkaran
yang dekat istana. Asas “no free lunch” – tidak ada makan siang
gratis – menjadi andalan relawan tim sukses Jokowi-JK. Secara sistematis, masif dan berkelanjutan
pemerintah Jokowi-JK mengalami pengeroposan, pelapukan dari dalam. Koalisi Partai Pendukung
Pemerintah ada yang berurusan dengan KPK atau pihak yang berwajib.
Memang
Jokowi tidak menggunakan aji-aji yang perbah dipakai saat jadi walikota
Surakarta dan saat sebagai gubernur DKI Jakarta, yaitu ‘tinggal glanggang. colong playu”. Artinya akan turun di engah jalan
sebelum jatuh tempo. Karena rumput tetangga tidak ada yang lebih hijau. Jokowi
malah siap dengan peribahasa “belum meminang sudah menimang”.
Jokowi
sudah mampu menerawang peta politik Nusantara. Bagaimana tabiat parpol yang
berpengalaman di kawah Candradimuka Orde Baru. Bagaimana modus operandi parpol
yang didirikan oleh sisa-sisa reformis. Terlebih parpol tanpa landasan
ideologi, yang hanya mengandalkan kekuatan modal dan dana.
Perombakan
kabinet kerja episode kedua, walau dengan dalih agar pembangunan ekonomi tidak
mangkrak, membuktikan dugaan awal bahwa periode 2014-2019 akan terjadi
bagaimana cara memperlakukan lawan politik, melalui perpaduan gaya Orde Lama
yaitu “hantam kromo” dengan senyum
sang jenderal yang bersiasat “kalau tak bisa dirangkul pakai cara didengkul”. Sejarah
sudah membuktikan.
Tidak
percuma Jokowi blusukan, kunker (kunjungan kerja), sosialisasi atau turun
kesana turun kesini, ngecek harga sembako di pasar tradisional. Niat Jokowi adalah agar bisa sampai batas
akhir periode dan minat kuatnya adalah berlanjut melenggang ke periode
berikutnya. Langkah dan gaya Jokowi menjadikan lawan politik sekaligus
loyalisnya menjadi tak sempat berfikir. Mereka dininabobokan dengan pembagian jatah
kursi kekuasaan. Partai politik yang sudah kehabisan energi politiknya, tanpa
sadar telah menjadi kendaraan politik Jokowi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar