Halaman

Jumat, 08 Juli 2016

saatnya Indonesia bangkit, sadar dan cerdas politik



saatnya Indonesia bangkit, sadar dan cerdas politik

Tidak perlu jauh-jauh memikirkan politik apa yang cocok bagi bangsa dan rakyat Nusantara yang serba multi. Yang dibutuhkan rakyat adalah bahwa dapur rumah tangga, dapur keluarga tetap mengepul, berasap. Rakyat tak ambil pusing siapa yang sibuk urus dapur negara. Apakah itu dari kawanan mbahé bajingan tengik,  apakah itu dari keturunan kyai kondang tujuh turunan, apakah itu wong suguh tenan yang sanggup beli apa saja, ataukah pejuang politik  yang mewarisi darah pahlawan nasional.

Produk hukum Nusantara begitu peduli akan nasib anak bangsa yang menyandang serba tuna. Atau sudah mengantisipasi berdasarkan daya ekonomi, daya sosial, daya intelegensia setiap individu penduduk atau kelompok masyarakat. Praktiknya, justru anak bangsa yang tuna politik, buta pendidikan politik, yang tidak cerdas politik menjadi beban masa depan generasi penerus.

Bagaimana formulasi, rumusan, prospektus agenda geopolitik presiden RI ke-7, periode 2014-2019, apakah sudah terwakili oleh revolusi mental. Kita wajib prihatin luar biasa akan nasib wajah dan peta politik Nusantara. Betapa tidak Bung, karena makna berpolitik dimulai dari kebebasan untuk mendirikan partai politik. Serta berpolitik adalah cara jitu, manjur dan mujarab untuk merebut kekuasaan pemerintah dan negara secara konstitusional, legal, yuridis formal dan sesuai adat dan peradaban.

Kandungan Islam juga menganjurkan umat Islam harus bisa berpolitik. Bahkan dianjurkan jangan menyerahkan urusan umat kepada umat lain beda aqidah. Konflik internal antar umat Islam terkadang diperparah karena beda ideologi, beda partai politik. Orang partai berlabels Islam, memposisikan dirinya lebih cerdas divbanding umat Islam yan bebas politik. Bahkan ada ormas Islam yang memposisikan diri di atas pemerintahan yang syah.

Fanatisme, radikalisme bahkan brutalisme kawanan parpolis, ataupun militanisme oknum pelaku, pemain, pekerja partai bisa lebih berani mati dibanding saat melaksanakan perintah agama. Contohnya tidak bisa diurai atau disebut satu-persatu. Banyak yang tidak diendus oleh awak media massa berbayar. Pelaku tipikor dari orang partai, secara internal didaulat sebagai pahlawan ideologi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar