Halaman

Kamis, 07 Juli 2016

cicak di seberang lautan tampak buaya



cicak di seberang lautan tampak buaya

Fenomena alam yang tampak aneh, spektakuler, sensasional di panca indra, terasa bisa tidak diterima dan kurang masuk akal, nalar, logika  umat manusia pada umumnya. Padahal ayat kauniyah bertebaran di alam semesta, mengisi dan menghiasi jagad raya. Bangsa Indonesia bukannya tidak mampu membaca tanda alam, ataupun tanda zaman. Nenek moyang bangsa kita malah sudah mampu “membaca” masa depan Nusantara. Nenek moyang meninggalkan karya tulis dengan bahasa sastrawi, terkadang dengan huruf yang sudah tidak dikenal, dipakai di zaman revolusi mental. Karya tulis yang menyuratkan sekaligus menyiratkan kondisi yang akan terjadi, yang mampu menembus batas waktu dan tempat.

Kepekaan dan kepersahabatan anak manusia dengan lingkungan dan alam sekitar semakin memudar, sejalan dengan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudahan berkat campur tangan teknologi terkini, semakin memanjakan diri serta dampak nyatanya anggota tubuh kurang difungsikan secara optimal. Anak SD berjalan kaki ratusan meter ke sekolahnya, menjadi malas. Lebih pilih antar jemput naik motor. Atau naik sepeda sendiri. Pekerjaan anak manusia yang langsung bersingungan dengan alam, semacam petani, nelayan atau usaha pengolahan alam, menjadi profesi yang tidak menarik dan menjanjikan bagi generasi muda.

Akhirnya manusia lebih peka dengan tingkah laku, perilaku dan kelakuan manusia lainnya. Bukti formal, media layar kaca lebih merasa terhormat jika mampu menayangkan aib, cela, kesalahan dan bahkan dosa seseorang atau orang lain secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, berdasarkan alur yang kronologis, sistematis dan bukti bergambar. Kalau perlu diulang-ulang pada acara yang berbeda. Kemelut rumah tangga, tentunya para pesohor, menjadi santapan empuk kawanan media TV. Kejadian perkara yang belum disidik tuntas oleh pihak yang berwajib, sudah diadili di acara, atraksi, adegan bedah kasus versi dialog, diskusi, debat TV swata. Orang malah bisa hidup di atas penderitaan orang lain. Sesuai ramalan peribahasa “menari di atas bangkai orang lain”.

Soal bangkai-membangkai, terjadilah bahwa tingkah laku, perilaku dan kelakuan manusia politik menjadi sumber atau daya tarik kepekaan rakyat Indonesia. Tepatnya, mengkontaminasi kepekaan, kepedulian, daya tanggap rakyat terhadap kejadian disekitar dan dalam kehidupannya. Batas antara yang halal dengan yang haram, menjadi tipis bahkan menjadi satu. Yang baik dan yang salah tergantung persepsi dan kekuatan yang berperkara. Drama tanpa akhir “cicak vs buaya” sebagai bukti sejarah yang membuktikan bahwa berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) telah menjadi agama baru.  Rekayasa konstitusi menjadikan bahasa politik berdaya di atas semua bahasa. Bahkan “adakah buaya menolak bangkai”, menjadi pengingat dini bagi kawanan parpolis Nusantara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar