cicak di seberang lautan tampak
buaya
Fenomena alam yang tampak aneh,
spektakuler, sensasional di panca indra, terasa bisa tidak diterima dan kurang
masuk akal, nalar, logika umat manusia
pada umumnya. Padahal ayat kauniyah bertebaran di alam semesta, mengisi dan
menghiasi jagad raya. Bangsa Indonesia bukannya tidak mampu membaca tanda alam,
ataupun tanda zaman. Nenek moyang bangsa kita malah sudah mampu “membaca” masa
depan Nusantara. Nenek moyang meninggalkan karya tulis dengan bahasa sastrawi,
terkadang dengan huruf yang sudah tidak dikenal, dipakai di zaman revolusi
mental. Karya tulis yang menyuratkan sekaligus menyiratkan kondisi yang akan terjadi,
yang mampu menembus batas waktu dan tempat.
Kepekaan dan kepersahabatan anak
manusia dengan lingkungan dan alam sekitar semakin memudar, sejalan dengan
penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudahan berkat campur
tangan teknologi terkini, semakin memanjakan diri serta dampak nyatanya anggota
tubuh kurang difungsikan secara optimal. Anak SD berjalan kaki ratusan meter ke
sekolahnya, menjadi malas. Lebih pilih antar jemput naik motor. Atau naik
sepeda sendiri. Pekerjaan anak manusia yang langsung bersingungan dengan alam,
semacam petani, nelayan atau usaha pengolahan alam, menjadi profesi yang tidak
menarik dan menjanjikan bagi generasi muda.
Akhirnya manusia lebih peka dengan
tingkah laku, perilaku dan kelakuan manusia lainnya. Bukti formal, media layar
kaca lebih merasa terhormat jika mampu menayangkan aib, cela, kesalahan dan
bahkan dosa seseorang atau orang lain secara gamblang, tanpa tedeng
aling-aling, berdasarkan alur yang kronologis, sistematis dan bukti bergambar. Kalau
perlu diulang-ulang pada acara yang berbeda. Kemelut rumah tangga, tentunya
para pesohor, menjadi santapan empuk kawanan media TV. Kejadian perkara yang
belum disidik tuntas oleh pihak yang berwajib, sudah diadili di acara, atraksi,
adegan bedah kasus versi dialog, diskusi, debat TV swata. Orang malah bisa
hidup di atas penderitaan orang lain. Sesuai ramalan peribahasa “menari di atas bangkai
orang lain”.
Soal bangkai-membangkai, terjadilah
bahwa tingkah laku, perilaku dan kelakuan manusia politik menjadi sumber atau
daya tarik kepekaan rakyat Indonesia. Tepatnya, mengkontaminasi kepekaan,
kepedulian, daya tanggap rakyat terhadap kejadian disekitar dan dalam
kehidupannya. Batas antara yang halal dengan yang haram, menjadi tipis bahkan
menjadi satu. Yang baik dan yang salah tergantung persepsi dan kekuatan yang
berperkara. Drama tanpa akhir “cicak vs buaya” sebagai bukti sejarah yang
membuktikan bahwa berhala Reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) telah menjadi agama
baru. Rekayasa konstitusi menjadikan
bahasa politik berdaya di atas semua bahasa. Bahkan “adakah buaya menolak
bangkai”, menjadi
pengingat dini bagi kawanan parpolis Nusantara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar