batu loncatan ke 2019
Dua kali bongkar pasang Kabinet Kerja Jokowi-JK di
periode 2014-2019 menyiratkan dampak nyata politik transaksional di pesta
demokrasi 2014. Pihak yang menggoalkan Jokowi-JK sehingga bisa jadi RI-1 dan
RI-2 merasa berhak mendapat jatah kursi kekuasaan sebagai penyelenggara negara.
Jabatan bergengsi dan prestisius yang diincar adalah jabatan pembantu presiden.
Jokowi yang kental dengan darah Jawa,
sedikit banyak terpengaruh faham “Ngluruk Tanpo
Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondho.” Perhitungan waktu
yang dipakai Jokowi mengumumkan perombakan Kabinet Kerja menjadi Kabinet Kursi,
memasuki tahun ketiga pasca pilpres 9 Juli 2014, yaitu Rabu Pon 27 Juli 2016
sebagai weton Jokowi. Sekaligus memperingati 20 tahun peristiwa Kudatuli 1996.
Hasilnya, si anak manis sebagai pesuruh pdip yang patuh,
taat, tunduk, loyal pada oknum ketum pdip, semakin dewasa semakin merajuk ingin
lebih. Semakin menunjukkan watak aselinya. Sudah jadi presiden, lupa berdiri,
bahkan kebelet jadi presiden lagi.
Bukannya pdip miskin nyali dan tajinya kurang tajam. “Atas petunjuk dan restu ketua umum” menjadi ajian, jimat dan primbon hidup kawanan pdip.
Nasib pdip tergantung pada selera orang – terlebih ybs oknum ketua umum mempunyai
hak prerogratif – bukan tergantung pada sistem.
Jokowi piawai memanfaatkan sikon dimana parpol sudah
kehabisan energi ideologi. Kendati diposisikan sebagai pion dalam catur,
percaturan politik, justru posisi Jokowi sangat strategis dan taktis. Dukungan
nyata parpol hanya pamrih di pesta demokrasi 2019 sebagai kesempatan emas.
Memberi amunisi ke Jokowi dengan tujuan ybs akan tertarik dalam gerbong atau
syukur-syukur sebagai pasangan Jokowi. Itulah politik. Kalkulasi politik memang
menghalalkan segala tindakan, terlebih diperkuat dengan bahasa politik.
Langkah catur Jokowi memasang mantan jenderal di kabinet
kursi, merupakan strategi dan tak-tik jitu
“nabok nyilih tangan”
sekaligus memperkecil peluang sang jenderal jadi pesaing di 2019. Disinilah
beda akal politik Jokowi dengan Megawati. Justru Jokowi belajar dari Megawati
dengan cara kontra atau kebalikannya, yaitu memanfaatkan siapa saja calon lawan
potensial dengan memposisikannya sebagai pembantu presiden. Diharapkan ruang
gerak dan daya jelajahnya terkebiri secara konstitusional. Sekaligus menempatkan
loyalisnya pada posisi trategis untuk mengamankan jalan menuju 2019. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar