Halaman

Sabtu, 30 Juli 2016

batu loncatan ke 2019



batu loncatan ke 2019

Dua kali bongkar pasang Kabinet Kerja Jokowi-JK di periode 2014-2019 menyiratkan dampak nyata politik transaksional di pesta demokrasi 2014. Pihak yang menggoalkan Jokowi-JK sehingga bisa jadi RI-1 dan RI-2 merasa berhak mendapat jatah kursi kekuasaan sebagai penyelenggara negara. Jabatan bergengsi dan prestisius yang diincar adalah jabatan pembantu presiden. Jokowi yang kental dengan darah Jawa,  sedikit banyak terpengaruh faham “Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondho.” Perhitungan waktu yang dipakai Jokowi mengumumkan perombakan Kabinet Kerja menjadi Kabinet Kursi, memasuki tahun ketiga pasca pilpres 9 Juli 2014, yaitu Rabu Pon 27 Juli 2016 sebagai weton Jokowi. Sekaligus memperingati 20 tahun peristiwa Kudatuli 1996.

Hasilnya, si anak manis sebagai pesuruh pdip yang patuh, taat, tunduk, loyal pada oknum ketum pdip, semakin dewasa semakin merajuk ingin lebih. Semakin menunjukkan watak aselinya. Sudah jadi presiden, lupa berdiri, bahkan kebelet jadi presiden lagi. Bukannya pdip miskin nyali dan tajinya kurang tajam. “Atas petunjuk dan restu ketua umum” menjadi ajian, jimat dan primbon hidup kawanan pdip. Nasib pdip tergantung pada selera orang – terlebih ybs oknum ketua umum mempunyai hak prerogratif – bukan tergantung pada sistem.

Jokowi piawai memanfaatkan sikon dimana parpol sudah kehabisan energi ideologi. Kendati diposisikan sebagai pion dalam catur, percaturan politik, justru posisi Jokowi sangat strategis dan taktis. Dukungan nyata parpol hanya pamrih di pesta demokrasi 2019 sebagai kesempatan emas. Memberi amunisi ke Jokowi dengan tujuan ybs akan tertarik dalam gerbong atau syukur-syukur sebagai pasangan Jokowi. Itulah politik. Kalkulasi politik memang menghalalkan segala tindakan, terlebih diperkuat dengan bahasa politik.

Langkah catur Jokowi memasang mantan jenderal di kabinet kursi, merupakan strategi dan tak-tik jitu  nabok nyilih tangan” sekaligus memperkecil peluang sang jenderal jadi pesaing di 2019. Disinilah beda akal politik Jokowi dengan Megawati. Justru Jokowi belajar dari Megawati dengan cara kontra atau kebalikannya, yaitu memanfaatkan siapa saja calon lawan potensial dengan memposisikannya sebagai pembantu presiden. Diharapkan ruang gerak dan daya jelajahnya terkebiri secara konstitusional. Sekaligus menempatkan loyalisnya pada posisi trategis untuk mengamankan jalan menuju 2019. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar