masyarakat rentan/miskin Jakarta mati di lumbung Rp
Badan Pusat
Statistik (BPS) DKI Jakarta mewartakan bahwa
jumlah penduduk miskin di Jakarta (September 2015 mencapai 368.670 orang
atau 3,61% dari total jumlah penduduk di DKI Jakarta, maka pada bulan Maret
2016, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75%) bertambah
sebanyak 15.630 orang atau meningkat 0,14 poin.
Jangan terkecoh, secara nasional atau perbandingan
regional, tingkat kemiskinan Jakarta 3,93% terendah namun garis kemiskinannya
Rp 447.787,- jauh di atas provinsi lainnya atau bahkan tertinggi. DKI Jakarta
boleh bangga karena (tahun 2014) paling tinggi dalam hal tingkat keberhasilan
pembangunan manusia, nilai IPM 78,39. Yang dimaksud masyarakat miskin DKI
Jakarta adalah masyarakat miskin kota, terdiri dari pendatang dengan
keterbatasan kemampuan dan modal. Fakta lain, 60% mata uang Rp beredar di DKI
Jakarta (BPS DKI Jakarta 2015).
Sejarah DKI Jakarta terkesima dengan ‘pendatang
haram’ yang jauh dari kategori masyarakat miskin yaitu Jokowi dan Ahok pada
pilgub 2012. Pasangan cagub dan cawagub 2012 ini menyandang “kemampuan dan
modal politik” di atas rata-rata pesaingnya. Ikhwal inilah yang menjadi
momentum DKI Jakarta sarat dengan identitas, predikat, sebutan, label, jati
diri. Akumulasinya dalam akronim BMKG (Bencana banjir/kebakaran; Macet, miskin,
Kumuh, kampung; Gusur, gali timbun alias reklamasi).
DKI Jakarta sarat dengan persoalan multikompleks,
tetap jadi barometer persoalan bangsa. Permasalahan utamanya adalah karena
pelaku ekonomi sudah main mata dengan pedagang politik. Efek domino sebagai
lumbung Rp diperkuat dengan tindakan pendatang haram dari kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi mendapat ruang dan waktu. Misal dengan disiapkannya
reklamasi pantai utara. Kartu Jakarta Anti Miskin belum manjur, mujarab, cespleng
untuk meminimalisir masyarakat miskin, bahkan
masyarakat miskin akan semakin miskin, sedangkan
masyarakat yang rentan akan masuk dalam kemiskinan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar