Halaman

Minggu, 24 Juli 2016

presiden kebelet jadi presiden



presiden kebelet jadi presiden

Namanya anak kecil, masih balita lagi, terjadi disesama saudara kandung.  Tangan kanan pegang makanan, tangan kiri menggegam jajanan, mulut sibuk mengunyah, namun mata mereka saling mengawasi. Kalau merasa makanan kalah banyak, protes dan merajuk ke orang tuanya. Bagi anak yang paling tua, paling besar, jatahnya paling banyak sesuai daya cengkeram dan genggam tangan, pilih minggir agar aman. Namun ada juga anak yang dengan tenang, santai melahap dan menikmati makanannya. Kalau habis, minta tambah ke orang tuanya atau minta ke saudaranya. Praktis dan sederhana. Makan dan makanannya jadi berkah, jadi darah daging. Tidak iri, tidak perlu makan kunyah cepat, tidak boros emosi dan enerji karena mata sibuk membaca kekuatan lawan, siap menuntut atau minta jatah sesuai asas keadilan.

Terjadi juga diantara sesama pemain, pelaku, pekerja politik yang sedang menikmati kekuasaan sebagai penylenggara negara. Bukan rangkap jabatan, tetapi mempunyai jabatan pelengkap. Jabatan yang lain mengikuti jabatan utama. Didaulat di tepat lain karena orang memandang kuasa jabatannya, bukan keahlian orangnya. Pengaruh orang yang punya jabatan beda dengan daya guna rakyat, apalagi rakyat yang ahli menuntut.

Penguasa tertinggi bangsa dan negara, tentu sarat, kenyang, jenuh dengan beban wewenang dan tanggung jawab. Tetapi karena bisa merasa nikmatnya jadi “kepala atas”, dengan berbagai kemudahan, fasilitas, sanjungan dan punjungan, akhirnya kecanduan, ketagihan dengan kursi kekuasaan. Tidak hanya lupa berdiri. Kalau bisa berlanjut dengan kursi yang sama atau yang lebih besar. Wallahu a’lam. Itulah Indonesia-ku, Indonesia-mu bagaimana? [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar