presiden kebelet jadi presiden
Namanya anak
kecil, masih balita lagi, terjadi disesama saudara kandung. Tangan kanan pegang makanan, tangan kiri
menggegam jajanan, mulut sibuk mengunyah, namun mata mereka saling mengawasi.
Kalau merasa makanan kalah banyak, protes dan merajuk ke orang tuanya. Bagi
anak yang paling tua, paling besar, jatahnya paling banyak sesuai daya
cengkeram dan genggam tangan, pilih minggir agar aman. Namun ada juga anak yang
dengan tenang, santai melahap dan menikmati makanannya. Kalau habis, minta
tambah ke orang tuanya atau minta ke saudaranya. Praktis dan sederhana. Makan
dan makanannya jadi berkah, jadi darah daging. Tidak iri, tidak perlu makan
kunyah cepat, tidak boros emosi dan enerji karena mata sibuk membaca kekuatan
lawan, siap menuntut atau minta jatah sesuai asas keadilan.
Terjadi juga
diantara sesama pemain, pelaku, pekerja politik yang sedang menikmati kekuasaan
sebagai penylenggara negara. Bukan rangkap jabatan, tetapi mempunyai jabatan
pelengkap. Jabatan yang lain mengikuti jabatan utama. Didaulat di tepat lain
karena orang memandang kuasa jabatannya, bukan keahlian orangnya. Pengaruh orang
yang punya jabatan beda dengan daya guna rakyat, apalagi rakyat yang ahli
menuntut.
Penguasa
tertinggi bangsa dan negara, tentu sarat, kenyang, jenuh dengan beban wewenang
dan tanggung jawab. Tetapi karena bisa merasa nikmatnya jadi “kepala atas”,
dengan berbagai kemudahan, fasilitas, sanjungan dan punjungan, akhirnya kecanduan, ketagihan dengan kursi kekuasaan. Tidak
hanya lupa berdiri. Kalau bisa berlanjut dengan kursi yang sama atau yang lebih
besar. Wallahu a’lam. Itulah Indonesia-ku, Indonesia-mu bagaimana? [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar