Halaman

Minggu, 24 Juli 2016

ketika bola menjadi martabat bangsa



ketika bola menjadi martabat bangsa

Fakta bicara, ada nama sebuah negara yang asing di telinga kita. Ilmu bumi hafalan kita tidak memuat nama, bahkan di mana lokasi negara dimaksud. Kita tidak tahu siap kepala negaranya. Begitu kita tahu, ternyata jumlah penduduknya masih jauh di bawah populasi penduduk kota Jakarta. Herannya, nama negara tersebut masuk daftar negara dengan tim kesebelasan yang tidak main-main, tidak bisa dianggap enteng, remeh. Walau belum masuk daftar FIFA (sebetulnya sudah masuk, cuma jauh diatas peringkat RI).

Tak heran, ataukah karena negara kecil sehingga rasa nasionalismenya bisa diharapkan. Mempunyai tim nasional yang menjadi kebanggaan bangsa dan negaranya. Entah di benua Eropa atau bahkan di benua Asia.

Konon, ketika sepak bola nasional Indonesia diurus oleh loyalis ketua umum parpol tertentu, maka secara pasti prestasi PSSI hanya sebatas rebut jabatan ketua umum. Ironis, oknum ketua umum selalu yang tahu dan doyan duit. Tahu taktik, strategi mengambil bola dari kaki lawan. Dipraktikkan, bagaimana cara mengambil Rp dari tangan negara atau langsung dari yang punya. Tahu betul bagaimana modus operandi agar pundi-pundinya sering kemasukan Rp dan atau valas tanpa sengaja, tanpa scenario, tanpa direncanakan. Copet kali.

Memang, martabat bangsa dan negara Indonesia tidak ditentukan oleh bola. Arwah, semangat, jiwa timnas sudah ditiru mentah-mentah oleh partai politik yang tidak siap menang dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Jadinya, bangsa ini malah mengidolakan pemain asing. Media massa dengan sengaja mengekspos kepwiawaian pesepak bola yang tampilan, kocekan dan goceknya bak selebriti.

Jangan kuatir kawan, Indonesia masih bisa jadi penonton yang bermartabat, di kandang sendiri. Kalau ada huru-hara, kerusuhan, bentrok antar supporter, tindakan anarkis di jalan dan faslitas umum, dsb anggap sebagai partai tambahan, partai hiburan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar