ketika
bola menjadi martabat bangsa
Fakta bicara, ada nama sebuah negara yang asing di
telinga kita. Ilmu bumi hafalan kita tidak memuat nama, bahkan di mana lokasi
negara dimaksud. Kita tidak tahu siap kepala negaranya. Begitu kita tahu,
ternyata jumlah penduduknya masih jauh di bawah populasi penduduk kota Jakarta.
Herannya, nama negara tersebut masuk daftar negara dengan tim kesebelasan yang
tidak main-main, tidak bisa dianggap enteng, remeh. Walau belum masuk daftar
FIFA (sebetulnya sudah masuk, cuma jauh diatas peringkat RI).
Tak heran, ataukah karena negara kecil sehingga
rasa nasionalismenya bisa diharapkan. Mempunyai tim nasional yang menjadi kebanggaan
bangsa dan negaranya. Entah di benua Eropa atau bahkan di benua Asia.
Konon, ketika sepak bola nasional Indonesia diurus
oleh loyalis ketua umum parpol tertentu, maka secara pasti prestasi PSSI hanya
sebatas rebut jabatan ketua umum. Ironis, oknum ketua umum selalu yang tahu dan
doyan duit. Tahu taktik, strategi mengambil bola dari kaki lawan. Dipraktikkan,
bagaimana cara mengambil Rp dari tangan negara atau langsung dari yang punya. Tahu
betul bagaimana modus operandi agar pundi-pundinya sering kemasukan Rp dan atau
valas tanpa sengaja, tanpa scenario, tanpa direncanakan. Copet kali.
Memang, martabat bangsa dan negara Indonesia tidak
ditentukan oleh bola. Arwah, semangat, jiwa timnas sudah ditiru mentah-mentah
oleh partai politik yang tidak siap menang dalam perhelatan pesta demokrasi
lima tahunan. Jadinya, bangsa ini malah mengidolakan pemain asing. Media massa
dengan sengaja mengekspos kepwiawaian pesepak bola yang tampilan, kocekan dan
goceknya bak selebriti.
Jangan kuatir kawan, Indonesia masih bisa jadi
penonton yang bermartabat, di kandang sendiri. Kalau ada huru-hara, kerusuhan,
bentrok antar supporter, tindakan anarkis di jalan dan faslitas umum, dsb
anggap sebagai partai tambahan, partai hiburan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar