efek domino parpol tidak siap
menang, daya retak bangsa vs daya rekat bangsa
“Tiwas dandan”, cuplikan lagu Waljinah
yang ngetop tahun ’60-an, saat itu saya duduk di bangku SR/SD. Makanya jangan
apriori. Cuplikan tsb masih layak. Bahkan terasa tepat jika diterapkan pada
relawan zaman pesta demokrasi 2014 yang belum kebagian kursi kekuasaan. Politik transaksional membuka pintu bagi siapa
saja yang berpotensi memenangkan parpol tertentu yang sekaligus mengusung
pasangan capres dan cawapres tertentu. Walhasil, jumlah kursi yang tersedia
secara formal diatur oleh UU, mengingat calon penumpang atau yang merasa berhak
duduk melebihi kapasitas, tak urung disediakan jabatan juga. Agar tak mutung atau malah jadi pecundang,
tukang gerogot dari dalam, menggunting dalam lipatan. Dampak nyata berupa efek
domino perombakan kabinet kerja.
Sebagai penduduk
dari negara yang selalu sedang berkembang di tempat, termasuk kembang-kempis, tak heran kalau akal,
nalar, logika politik jalan. Kalkulasi politik menjadikan anak bangsa terjun ke
partai mana, siap dengan cara kutu loncat. Untung rugi apa saja sudah matang di
angan-angan. Masa pencarian jati diri politik Nusantara malah menguntungkan
pejuang politik yang mmepunyai kedudukan sebagai ketua umum parpol, serta
pejabat elitnya. Sistem feodal melahirkan dinasti politik, kekerabatan politik,
kekuasaan dapat diwariskan dan seabreg fakta lainnya.a
Rasa persatuan
dan kesatuan bangsa, atau frasa sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”,
tergoyahkan oleh sendi-sendi kehidupan berpolitik. Ini bukan sekedar sinyelemen
atau basa-basinya pegiat pro-kemapanan. Pergolakan politik pasca proklamasi karena
terkontaminasi agenda rebut kekuasaan secara konstitusional. Tidak perlu makar
seperti PKI di tahun 1948 dan 1965. Bena ng merah daya rekat bangsa sekaligus
daya retak bangsa teruji oleh aroma irama nafsu syahwat manusia politik
Indonesia.
Jangankan satu
era Orde Lama utawa Orde Baru, pasca Reformasi 21 Mei 1998, tabiat dan habitat
pelaku, pemain, pekerja politik sudah menunjukkan jati diri alias watak
aselinya. Bahasa politik resmi dipakai oleh sempalan reformis sampai sekarang. Bahasa
politik yang berlaku resmi sekarang merupakan perpaduan gaya hantam kromo Orla dengan modus operandi
Orba yaitu kalau tidak bisa dirangkul pakai cara didengkul. Pihak yang duduk
manis selama dua perode SBY 2004-2009 dan 2009-2014, bukannya bertapa mencari
wangsit, memperdalam ilmu dunia, berguru ke alam ghaib, maupun memperkuat
barisan, malah berleha-leha, uncang-uncang kaki menunggu turunnya satria
piningit. Menunggu faktor keajaiban, faktor keberuntungan, terutama nasib baik
di hari baik.
Waktu saya
memarahi, menegur, mengingatkan anak saya nomor dua, dengan cara diskusi, dialog
maupun debat ala media penyiaran TB swasta, walau tanpa pamrih peringkat
pemirsa atau peringkat finasial, dengan santai anak saya yang selalu siap
jawaban, mengeluarkan jurus kata : “Anaknya saja begini, bagaimana bapaknya.”. Sekian. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar