Halaman

Senin, 25 Juli 2016

efek domino parpol tidak siap menang, daya retak bangsa vs daya rekat bangsa



efek domino parpol tidak siap menang, daya retak bangsa vs daya rekat bangsa

Tiwas dandan”, cuplikan lagu Waljinah yang ngetop tahun ’60-an, saat itu saya duduk di bangku SR/SD. Makanya jangan apriori. Cuplikan tsb masih layak. Bahkan terasa tepat jika diterapkan pada relawan zaman pesta demokrasi 2014 yang belum kebagian kursi kekuasaan.  Politik transaksional membuka pintu bagi siapa saja yang berpotensi memenangkan parpol tertentu yang sekaligus mengusung pasangan capres dan cawapres tertentu. Walhasil, jumlah kursi yang tersedia secara formal diatur oleh UU, mengingat calon penumpang atau yang merasa berhak duduk melebihi kapasitas, tak urung disediakan jabatan juga. Agar tak mutung atau malah jadi pecundang, tukang gerogot dari dalam, menggunting dalam lipatan. Dampak nyata berupa efek domino perombakan kabinet kerja.

Sebagai penduduk dari negara yang selalu sedang berkembang di tempat, termasuk kembang-kempis, tak heran kalau akal, nalar, logika politik jalan. Kalkulasi politik menjadikan anak bangsa terjun ke partai mana, siap dengan cara kutu loncat. Untung rugi apa saja sudah matang di angan-angan. Masa pencarian jati diri politik Nusantara malah menguntungkan pejuang politik yang mmepunyai kedudukan sebagai ketua umum parpol, serta pejabat elitnya. Sistem feodal melahirkan dinasti politik, kekerabatan politik, kekuasaan dapat diwariskan dan seabreg fakta lainnya.a

Rasa persatuan dan kesatuan bangsa, atau frasa sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, tergoyahkan oleh sendi-sendi kehidupan berpolitik. Ini bukan sekedar sinyelemen atau basa-basinya pegiat pro-kemapanan. Pergolakan politik pasca proklamasi karena terkontaminasi agenda rebut kekuasaan secara konstitusional. Tidak perlu makar seperti PKI di tahun 1948 dan 1965. Bena ng merah daya rekat bangsa sekaligus daya retak bangsa teruji oleh aroma irama nafsu syahwat manusia politik Indonesia.

Jangankan satu era Orde Lama utawa Orde Baru, pasca Reformasi 21 Mei 1998, tabiat dan habitat pelaku, pemain, pekerja politik sudah menunjukkan jati diri alias watak aselinya. Bahasa politik resmi dipakai oleh sempalan reformis sampai sekarang. Bahasa politik yang berlaku resmi sekarang merupakan perpaduan gaya hantam kromo Orla dengan modus operandi Orba yaitu kalau tidak bisa dirangkul pakai cara didengkul. Pihak yang duduk manis selama dua perode SBY 2004-2009 dan 2009-2014, bukannya bertapa mencari wangsit, memperdalam ilmu dunia, berguru ke alam ghaib, maupun memperkuat barisan, malah berleha-leha, uncang-uncang kaki menunggu turunnya satria piningit. Menunggu faktor keajaiban, faktor keberuntungan, terutama nasib baik di hari baik.

Waktu saya memarahi, menegur, mengingatkan anak saya nomor dua, dengan cara diskusi, dialog maupun debat ala media penyiaran TB swasta, walau tanpa pamrih peringkat pemirsa atau peringkat finasial, dengan santai anak saya yang selalu siap jawaban, mengeluarkan jurus kata : “Anaknya saja begini, bagaimana bapaknya.”. Sekian.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar