membangkitkan sisa rasa
malu pada diri sendiri
Otak, nalar, logika kita tidak mampu mencerna betapa Allah menjadi diri
kita dari keburukan, bahwa laku kita bisa menjadikan Allah menutubi aib kita. Kita
terbiasa secara formal memanfaatkan potensi diri, mengoptimalkan energi positif
diri tetapi kurang terbiasa mengelola rasa malu sehingga menjadi potensi diri,
energi positif diri. Malu bagian dari iman, selayaknya kita mengelola rasa malu
sebagai senjata atau solusi awal saat menghadapi masalah kehidupan.
Kata ahlinya, dapat disimpulkan sejak awal, secara diri bahwa ada hubungan,
korelasi bahkan hukum sebab-akibat, kausalitas antara rasa malas dengan rasa
malu. Kata ahli sejarah, rasa malas sebagai ciri penduduk Melayu sebagai dampak
bangsa terjajah secara turun-temurun.
Penjajah bangsa Belanda dengan kadar religinya tidak mau bangsa Melayu
mempunyai pikiran untuk merdeka, bebas dari penindasan oleh bangsa lain.
Rasa malas telah mengalami proses lahir batin. Akhirnya, memasuki pasca
Reformasi dengan semboyan revolusi mental, rasa malas menjadi hak milik anak
bangsa. Budaya instan yang mendominasi daya pikir, daya ucap, daya kerja anak
bangsa yang maunya dengan modal minimal, bisa meraup hasil optimal. Pagi
terbang bak burung, sore pulang menenteng rezeki atau minimal segepok Rp. Di
pihak penyelenggara negara, khususnya dari kawanan parpolis yang sedang kontrak
politik, tanpa rasa malu memanfaatkan masa jabatan untuk berbagai
kepentingan.
Yang ahli, dengan mengatasnamakan kepentingan partai, cara apapun menjadi
halal, konstitusional, masuk akal jika sebagai kelanjutan korban iklan “kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Efek domino revolusi mental merasuki jiwa raga para pekerja, pelaku,
pemain politik, yang serta-merta meningkakan rasa percaya diri untuk tetap duduk
manis di kursi jabatan prestisius dan ambisius. Apa kata rakyat, ibarat “anjing menggonggong tidak menggigit”. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar