Halaman

Kamis, 14 Juli 2016

membangkitkan sisa rasa malu pada diri sendiri



membangkitkan sisa rasa malu pada diri sendiri

Otak, nalar, logika kita tidak mampu mencerna betapa Allah menjadi diri kita dari keburukan, bahwa laku kita bisa menjadikan Allah menutubi aib kita. Kita terbiasa secara formal memanfaatkan potensi diri, mengoptimalkan energi positif diri tetapi kurang terbiasa mengelola rasa malu sehingga menjadi potensi diri, energi positif diri. Malu bagian dari iman, selayaknya kita mengelola rasa malu sebagai senjata atau solusi awal saat menghadapi masalah kehidupan.

Kata ahlinya, dapat disimpulkan sejak awal, secara diri bahwa ada hubungan, korelasi bahkan hukum sebab-akibat, kausalitas antara rasa malas dengan rasa malu. Kata ahli sejarah, rasa malas sebagai ciri penduduk Melayu sebagai dampak bangsa terjajah secara turun-temurun.  Penjajah bangsa Belanda dengan kadar religinya tidak mau bangsa Melayu mempunyai pikiran untuk merdeka, bebas dari penindasan oleh bangsa lain.

Rasa malas telah mengalami proses lahir batin. Akhirnya, memasuki pasca Reformasi dengan semboyan revolusi mental, rasa malas menjadi hak milik anak bangsa. Budaya instan yang mendominasi daya pikir, daya ucap, daya kerja anak bangsa yang maunya dengan modal minimal, bisa meraup hasil optimal. Pagi terbang bak burung, sore pulang menenteng rezeki atau minimal segepok Rp. Di pihak penyelenggara negara, khususnya dari kawanan parpolis yang sedang kontrak politik, tanpa rasa malu memanfaatkan masa jabatan untuk berbagai kepentingan.

Yang ahli, dengan mengatasnamakan kepentingan partai, cara apapun menjadi halal, konstitusional, masuk akal jika sebagai kelanjutan korban iklan “kalau sudah duduk, lupa berdiri”. Efek domino revolusi mental merasuki jiwa raga para pekerja, pelaku, pemain politik, yang serta-merta meningkakan rasa percaya diri untuk tetap duduk manis di kursi jabatan prestisius dan ambisius. Apa kata rakyat, ibarat “anjing menggonggong tidak menggigit”. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar