Halaman

Sabtu, 16 Juli 2016

PEMBERANTASAN KORUPSI, pihak mana yang paling berhak!



PEMBERANTASAN KORUPSI, pihak mana yang paling berhak!

Betul. Tidak salah. Memang pernah terjadi, jika pelaku tindak pidana kejahatan bertampang criminal. Tidak berhenti sampai disitu, semisal penjahat jalanan yang mengandalkan berani nekat, biasanya dengan ciri badan kekar, wajah sangar, muka tak bersahabat nyaris bengis, rambut awut-awutan, kumis sekepal, suara garang, dilengkapi aksesoris tato, pakai gelang akar bahar, kalung tulang. Masih tampak biasa-biasa, atau nyaris seragam, akhirnya ditambah busana kebesaran, dilengkapi senjata tajam, dan semua atribut ciri pelaku kejahatan. Kaos bergaris-garis hitam-putih sebagai ilustrasi penjahat klas teri. Sekitar mata ditutupi kain hitam. Bisa kepala gundul, plontos atau memakai topi kebesaran penjahat ketengan.

Di tempat umum, kerumunan masal, ajang kumpul bareng, orang menjadi waspada dan was-was jika berpapasan dengan orang yang diindentikan dengan profil penjahat. Di angkutan umum, penumpang merasa tidak nyaman jika tiba-tiba masuk penumpang dengan tampilan seperti ‘buronon polisi’. Sedemikan rupa, walhasil gambaran sosok penjahat berhasil menjadi citra, ciri khas, jati diri penjahat. Dilengkapi ilustrasi sosok penjahat membawa kabur sekarung barang hasil kejahatan. Entah hasil membobol rumah orang, hasil perampokan atau modus operandi lainnya.

Kemajuan peradaban, menjadikan sosok penjahat susah diprofilkan. Bahkan tak beda jauh dengan sosok orang baik-baik. Bahkan nyaris taka da bedangan dengan tampang pejabat, tampilan orang kaya atau bahkan gambaran sosok orang alim sekalipun. Media masa, khususnya media penyiaran TV pengejar peringkat, berbayar dan demi keuntungan finansial serta visi dan misi pemodal, dengan rajin dan setia menampilkan sosok penjahat ang jauh dari tampang kriminal. Ironisnya, pelaku kejahatan tidak dimonopoli kaum adam, kaum hawa bahkan mampu menjadi penjahat klas kakap. Tak lupa tetap menjunjung tinggi citra busana yang menggambarkan kualitas diri.

Kalau penjahat jalanan, pada ummnya karena faktor ekonomi, salah gaul atau ingin cepat kaya berisiko tinggi kalau tertangkap tangan, kepergok, atau mendadak ketahuan calon korban. Penjahat tanpa tampang kriminal jika terkena operasi tangkap tangan KPK, malah bisa menjadi selebritas dunia kriminal. Tersangka pelaku korupsi, terpidana kasus narkoba malah menjadi orang terhormat. Terpidana korupsi, bandar narkoba malah menjadi raja di tempat pengasingan sementaranya. Menjadi warga binaan tersanjung, termuliakan dan terhotmat di mata petugas lapas.

Rangkaian peristiwa criminal yang menujukkan akhir perjalanan sang terdakwa, semakin dihebohkan dengan siapa atau pihak mana yang paling berhak menegakkan hukum. Sejarah formal membuktikan, selain pelaku tindak criminal dari unsur penyelenggara negara, terbukti aparat penegak hukum mempunyai standar ganda. Di satu sisi sebagai pemberantas kejahatan, sisi lain memainkan peran menjegal sesama penegak hukum. Bisa terjadi sesame penegak hukum bisa menjadi bumerang bagi pihak lainnya. Karena kejahatan tidak berbasis perut lapar, meningkat menjadi jangan sampai perut lapar. Kalau bisa kenyang tujuh keturunan.

Imu pemberantasan korupsi sering kalah langkah dengan modus operandi, ruang gerak, langkah taktis dan jitu pelaku korupsi. Korupsi bukan sekedar kesempatan atau tidak ketatnya pengawasan. Korupsi merupakan bagian integral dari sistem penganggaran yang melalui proses ‘siapa mendapat apa’, ‘siapa memperoleh seberapa’ serta ‘siapa kebagian yang mana saja’. Itulah hukum buatan manusia, hasil kompromi manusia, buah kesepakatan bersama, produk musyawarah untuk mufakat, tahu sama tahu. Jangan saling merugikan. Jangan saling menjatuhkan. Jangan saling mengganggu sumber rezeki masing-masing. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar