PEMBERANTASAN KORUPSI, pihak mana yang paling berhak!
Betul. Tidak salah. Memang
pernah terjadi, jika pelaku tindak pidana kejahatan bertampang criminal. Tidak berhenti
sampai disitu, semisal penjahat jalanan yang mengandalkan berani nekat,
biasanya dengan ciri badan kekar, wajah sangar, muka tak bersahabat nyaris
bengis, rambut awut-awutan, kumis sekepal, suara garang, dilengkapi aksesoris
tato, pakai gelang akar bahar, kalung tulang. Masih tampak biasa-biasa, atau
nyaris seragam, akhirnya ditambah busana kebesaran, dilengkapi senjata tajam,
dan semua atribut ciri pelaku kejahatan. Kaos bergaris-garis hitam-putih
sebagai ilustrasi penjahat klas teri. Sekitar mata ditutupi kain hitam. Bisa kepala
gundul, plontos atau memakai topi kebesaran penjahat ketengan.
Di tempat umum,
kerumunan masal, ajang kumpul bareng, orang menjadi waspada dan was-was jika
berpapasan dengan orang yang diindentikan dengan profil penjahat. Di angkutan
umum, penumpang merasa tidak nyaman jika tiba-tiba masuk penumpang dengan
tampilan seperti ‘buronon polisi’. Sedemikan rupa, walhasil gambaran sosok
penjahat berhasil menjadi citra, ciri khas, jati diri penjahat. Dilengkapi ilustrasi
sosok penjahat membawa kabur sekarung barang hasil kejahatan. Entah hasil
membobol rumah orang, hasil perampokan atau modus operandi lainnya.
Kemajuan peradaban,
menjadikan sosok penjahat susah diprofilkan. Bahkan tak beda jauh dengan sosok
orang baik-baik. Bahkan nyaris taka da bedangan dengan tampang pejabat,
tampilan orang kaya atau bahkan gambaran sosok orang alim sekalipun. Media masa,
khususnya media penyiaran TV pengejar peringkat, berbayar dan demi keuntungan
finansial serta visi dan misi pemodal, dengan rajin dan setia menampilkan sosok
penjahat ang jauh dari tampang kriminal. Ironisnya, pelaku kejahatan tidak
dimonopoli kaum adam, kaum hawa bahkan mampu menjadi penjahat klas kakap. Tak lupa
tetap menjunjung tinggi citra busana yang menggambarkan kualitas diri.
Kalau penjahat
jalanan, pada ummnya karena faktor ekonomi, salah gaul atau ingin cepat kaya
berisiko tinggi kalau tertangkap tangan, kepergok, atau mendadak ketahuan calon
korban. Penjahat tanpa tampang kriminal jika terkena operasi tangkap tangan
KPK, malah bisa menjadi selebritas dunia kriminal. Tersangka pelaku korupsi,
terpidana kasus narkoba malah menjadi orang terhormat. Terpidana korupsi, bandar
narkoba malah menjadi raja di tempat pengasingan sementaranya. Menjadi warga
binaan tersanjung, termuliakan dan terhotmat di mata petugas lapas.
Rangkaian peristiwa criminal
yang menujukkan akhir perjalanan sang terdakwa, semakin dihebohkan dengan siapa
atau pihak mana yang paling berhak menegakkan hukum. Sejarah formal
membuktikan, selain pelaku tindak criminal dari unsur penyelenggara negara,
terbukti aparat penegak hukum mempunyai standar ganda. Di satu sisi sebagai
pemberantas kejahatan, sisi lain memainkan peran menjegal sesama penegak hukum.
Bisa terjadi sesame penegak hukum bisa menjadi bumerang bagi pihak lainnya.
Karena kejahatan tidak berbasis perut lapar, meningkat menjadi jangan sampai
perut lapar. Kalau bisa kenyang tujuh keturunan.
Imu pemberantasan
korupsi sering kalah langkah dengan modus operandi, ruang gerak, langkah taktis dan jitu pelaku korupsi.
Korupsi bukan sekedar kesempatan atau tidak ketatnya pengawasan. Korupsi merupakan
bagian integral dari sistem penganggaran yang melalui proses ‘siapa mendapat
apa’, ‘siapa memperoleh seberapa’ serta ‘siapa kebagian yang mana saja’. Itulah
hukum buatan manusia, hasil kompromi manusia, buah kesepakatan bersama, produk
musyawarah untuk mufakat, tahu sama tahu. Jangan saling merugikan. Jangan
saling menjatuhkan. Jangan saling mengganggu sumber rezeki masing-masing. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar