Menakar Ketahanan Politik Nusantara
Menurut selera, agaknya jika banyaknya partai
politik sesuai jumlah provinsi yang ada, bisa dibilang ideal. Asas pemerataan
dan otonomi di daerah, memungkinkan dibentuk partai politik lokal. Lebih
moderat jika disebut provinsi sebagai basis utama partai politik tertentu. Tiap
provinsi mempunyai karakter dan spesifikasi sebagai jati diri, yang memperkokoh
persatuan dan kesatuan nasional. Perpindahan penduduk antar pulau, dengan alasan
pendidikan, ekonomi serta memperbaiki,
meningkatkan keturunan dan menyiapkan generasi masa depan.
Kebebasan berpolitik jangan hanya diterjemahkan
sebagai hak untuk mendirikan partai politik, khususnya jelang pesta demokrasi.
Lebih miris lagi, kalau ada yang merasa bisa jadi pemimpin yang merasa bisa,
mampu, layak mengatur jalannya roda pemerintahan, menyelenggarakan tugas dan
fungsi negara. Kendati parpol lebih sebagai kendaraan politik pihak tertentu,
khususnya oknum ketua umumnya, namun tidak mengendorkan aroma irama syahwat
politik.
Katakan pada hati nurani, keberhasilan, kemanfaatan
sebuah partai politik jika banyak anggotanya yang berurusan dengan pihak yang
berwajib.Hukum Nusantara yang dikenal bak pisau pencacah, artinya tajam ke
bawah, tetapi tumpul sekaligus mandul ke atas. Praktik hukum pilih tanding,
tidak mau mengurus perkara dan pasal yang remeh-temeh. Diutamakan perkara yang
mendongkrak citra rasa, martabat dan kesejahteraan penegak hukum,
UU merestui adanya partai politik lokal, dengan
asas otonomi khusus. UU lain mensyaratkan keberadaan partai politik sampai
tingkat kelurahan/desa atau sebutan lainnya. Masalahnya, partai politik bukan
sebuah paguyuban, bukan juga sebuah lembaga profesi jasa urus
pemerintah/negara. Tak dapat diganggu gugat jika partai politik menjadi
perusahaan komersial, perusahaan keluarga maupun perusahaan daerah. Rakyat tak
boleh iri dan dengki lahir batin jika melihat orang politik, mulai ketua umum
sampai lapis di bawahnya tidak masuk kategori rakyat miskin.
Gejolak dalam pilkada, khususnya pemilihan
bupati/walikota, atau bahkan pemilihan kepala desa, rakyat pemilih dihadapkan
pada dua pilihan : memilih parpol yang rekam jejaknya sesuai harapan rakyat
atau mencoblos calon / nama orang yang sudah akrab di telinga mereka.
Jika urusan daerah yang menjadi kewenangan daerah,
namun parktiknya masih butuh uluran tangan pemerintah pusat, pertanda atau
indikasi parpol yang bercokol tidak sehat. Sederhana bukan. Wallahu a’lam bisshawab [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar