Halaman

Selasa, 05 Juli 2016

Menakar Ketahanan Politik Nusantara



Menakar Ketahanan Politik Nusantara

Menurut selera, agaknya jika banyaknya partai politik sesuai jumlah provinsi yang ada, bisa dibilang ideal. Asas pemerataan dan otonomi di daerah, memungkinkan dibentuk partai politik lokal. Lebih moderat jika disebut provinsi sebagai basis utama partai politik tertentu. Tiap provinsi mempunyai karakter dan spesifikasi sebagai jati diri, yang memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Perpindahan penduduk antar pulau, dengan alasan pendidikan, ekonomi serta memperbaiki,  meningkatkan keturunan dan menyiapkan generasi masa depan.

Kebebasan berpolitik jangan hanya diterjemahkan sebagai hak untuk mendirikan partai politik, khususnya jelang pesta demokrasi. Lebih miris lagi, kalau ada yang merasa bisa jadi pemimpin yang merasa bisa, mampu, layak mengatur jalannya roda pemerintahan, menyelenggarakan tugas dan fungsi negara. Kendati parpol lebih sebagai kendaraan politik pihak tertentu, khususnya oknum ketua umumnya, namun tidak mengendorkan aroma irama syahwat politik.

Katakan pada hati nurani, keberhasilan, kemanfaatan sebuah partai politik jika banyak anggotanya yang berurusan dengan pihak yang berwajib.Hukum Nusantara yang dikenal bak pisau pencacah, artinya tajam ke bawah, tetapi tumpul sekaligus mandul ke atas. Praktik hukum pilih tanding, tidak mau mengurus perkara dan pasal yang remeh-temeh. Diutamakan perkara yang mendongkrak citra rasa, martabat dan kesejahteraan penegak hukum,

UU merestui adanya partai politik lokal, dengan asas otonomi khusus. UU lain mensyaratkan keberadaan partai politik sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lainnya. Masalahnya, partai politik bukan sebuah paguyuban, bukan juga sebuah lembaga profesi jasa urus pemerintah/negara. Tak dapat diganggu gugat jika partai politik menjadi perusahaan komersial, perusahaan keluarga maupun perusahaan daerah. Rakyat tak boleh iri dan dengki lahir batin jika melihat orang politik, mulai ketua umum sampai lapis di bawahnya tidak masuk kategori rakyat miskin.

Gejolak dalam pilkada, khususnya pemilihan bupati/walikota, atau bahkan pemilihan kepala desa, rakyat pemilih dihadapkan pada dua pilihan : memilih parpol yang rekam jejaknya sesuai harapan rakyat atau mencoblos calon / nama orang yang sudah akrab di telinga mereka.

Jika urusan daerah yang menjadi kewenangan daerah, namun parktiknya masih butuh uluran tangan pemerintah pusat, pertanda atau indikasi parpol yang bercokol tidak sehat. Sederhana bukan. Wallahu a’lam bisshawab [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar