meminjam kepercayaan rakyat tanpa
janji
Kita wajib bersyukur, masih ada rakyat Indonesia yang sadar diri tidak
meninggalkan dan menanggalkan watak, sifat, karakter dan budi pekerti
kerakyatan. Entah karena lokasi dan potensi geografis, geologis atau lingkungan
hidup serta masih menjaga, menjunjung tinggi budaya yang adiluhung maupun faktor
penyebab lainnya sebagai bukti campur tangan Allah. Khususnya karena ada
hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup.
Namun juga tak kurang jumlah dan sebarannya, rakyat yang ketinggalan zaman
justru karena merasa mampu mengikuti zaman. Sudah habis-habisan belum kembali
modal, tetap malah tertepikan, terpinggirkan, terkesampingkan oleh laju
kemajuan zaman. Generasi muda sudah salah cetak sebelum lahir. Bukan salah
silsilah. Kata uztad, beginilah, begitulah kalau syarat nikah yang dilihat sang
lelaki sduah kerja utawa belum. Bukan itu saja, kata para pengamat, tukang
survei tanpa survei, atau survei pesanan bayar seikhlasnya.
Lema ‘rakyat’ secara politis mempunyai stigma atau konotasi sebagai
kekuatan kaum kiri. Kata ‘rakyat’ menjadi andalan dan senjata PKI pada masa
jaya-jayanya. Bahkan ada organisasi kemasyarakatan yang bernama Pemuda Rakyat. Kata
‘rakyat’ dibaifkan menjadi ‘wong cilik’, yang menjadi modal politik partai
politik. Ujung-ujungnya semua partai politik ingat nasib dan keberadaan rakyat
jelang pesta demokrasi. Suara rakyat yang mempunyai hak pilih menjadi komoditas
politik.
Bukan tanpa sebab, jika kata ‘rakyat’ jarang dipakai secara formal dalam
produk hukum, kebanyakan lebih gemar memakai kata masyarakat, penduduk, warga.
UUD 1945 yang menyesuaikan diri dengan zaman, baru 4 kali mengalami perubahan,
kata ‘rakyat’ muncul untuk memperkuat jati diri, eksistensi MPR dan DPR serta
DPRD.
Memang kita tidak bisa melepaskan diri dari gambaran sosok rakyat. Figur rakyat
yang divisualkan serba sederhana, mulai penampakkan fisik sampai gaya hidup,
pola hidup. Daya pikir dan cita-cita yang lugu. Wajah lugu, polos, apa adanya
menjadi ciri khas profil rakyat Indonesia pada umumnya. Kita masih ingat jika
sosok rakyat, laki mauun perempuan, digambarkan bercaping. Bahkan busana rakyat
menjadi trade mark yang melekat
sampai kini.
Pamor rakyat menjadi daya tarik untuk penamaan jajanan rakyat, makanan
rakyat, nyamikan rakyat, cemilan rakyat. Akumulasinya, sesuai karakteristik
daerah, bisa menetukan keberpenghitungan martabat bangsa. Terkadang turis
mancanegara ingin melihat keunikan Nusantara, khususnya pada tata kehidupan
rakyat yang masih alami, mengandalkan kekayaan dan kemurahan alam.
UU 6/2014 tentang DESA lebih fokus pada aturan main pemerintah desa
ketimbang, apalagi menggunakan frasa ‘rakyat desa’, menyasar urusan keseharian warganya.
Dampak masa jabatan dan aturan main pemilihan kepala desa belum dirasakan. Seolah
tampak demokrastis atau sebagai percontohan demokrasi ala Nusantara.
Jangan lupa, kekuatan negara yang sebenarnya ada bagaimana rakyat mampu
mengatur dirinya sendiri dengan arif, cerdas dan alami. Rakyat sebagai pondasi
keberlangsungan negara. Siapa yang mau jadi petani, nelayan, tukang atau
profesi yang dianggap hanya modal fisik, butuh tenaga ekstra, berani berkeringat.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar