Halaman

Rabu, 13 Juli 2016

meminjam kepercayaan rakyat tanpa janji



meminjam kepercayaan rakyat tanpa janji

Kita wajib bersyukur, masih ada rakyat Indonesia yang sadar diri tidak meninggalkan dan menanggalkan watak, sifat, karakter dan budi pekerti kerakyatan. Entah karena lokasi dan potensi geografis, geologis atau lingkungan hidup serta masih menjaga, menjunjung tinggi budaya yang adiluhung maupun faktor penyebab lainnya sebagai bukti campur tangan Allah. Khususnya karena ada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup.

Namun juga tak kurang jumlah dan sebarannya, rakyat yang ketinggalan zaman justru karena merasa mampu mengikuti zaman. Sudah habis-habisan belum kembali modal, tetap malah tertepikan, terpinggirkan, terkesampingkan oleh laju kemajuan zaman. Generasi muda sudah salah cetak sebelum lahir. Bukan salah silsilah. Kata uztad, beginilah, begitulah kalau syarat nikah yang dilihat sang lelaki sduah kerja utawa belum. Bukan itu saja, kata para pengamat, tukang survei tanpa survei, atau survei pesanan bayar seikhlasnya.

Lema ‘rakyat’ secara politis mempunyai stigma atau konotasi sebagai kekuatan kaum kiri. Kata ‘rakyat’ menjadi andalan dan senjata PKI pada masa jaya-jayanya. Bahkan ada organisasi kemasyarakatan yang bernama Pemuda Rakyat. Kata ‘rakyat’ dibaifkan menjadi ‘wong cilik’, yang menjadi modal politik partai politik. Ujung-ujungnya semua partai politik ingat nasib dan keberadaan rakyat jelang pesta demokrasi. Suara rakyat yang mempunyai hak pilih menjadi komoditas politik.

Bukan tanpa sebab, jika kata ‘rakyat’ jarang dipakai secara formal dalam produk hukum, kebanyakan lebih gemar memakai kata masyarakat, penduduk, warga. UUD 1945 yang menyesuaikan diri dengan zaman, baru 4 kali mengalami perubahan, kata ‘rakyat’ muncul untuk memperkuat jati diri, eksistensi MPR dan DPR serta DPRD.

Memang kita tidak bisa melepaskan diri dari gambaran sosok rakyat. Figur rakyat yang divisualkan serba sederhana, mulai penampakkan fisik sampai gaya hidup, pola hidup. Daya pikir dan cita-cita yang lugu. Wajah lugu, polos, apa adanya menjadi ciri khas profil rakyat Indonesia pada umumnya. Kita masih ingat jika sosok rakyat, laki mauun perempuan, digambarkan bercaping. Bahkan busana rakyat menjadi trade mark yang melekat sampai kini.

Pamor rakyat menjadi daya tarik untuk penamaan jajanan rakyat, makanan rakyat, nyamikan rakyat, cemilan rakyat. Akumulasinya, sesuai karakteristik daerah, bisa menetukan keberpenghitungan martabat bangsa. Terkadang turis mancanegara ingin melihat keunikan Nusantara, khususnya pada tata kehidupan rakyat yang masih alami, mengandalkan kekayaan dan kemurahan alam.

UU 6/2014 tentang DESA lebih fokus pada aturan main pemerintah desa ketimbang, apalagi menggunakan frasa ‘rakyat desa’, menyasar urusan keseharian warganya. Dampak masa jabatan dan aturan main pemilihan kepala desa belum dirasakan. Seolah tampak demokrastis atau sebagai percontohan demokrasi ala Nusantara.

Jangan lupa, kekuatan negara yang sebenarnya ada bagaimana rakyat mampu mengatur dirinya sendiri dengan arif, cerdas dan alami. Rakyat sebagai pondasi keberlangsungan negara. Siapa yang mau jadi petani, nelayan, tukang atau profesi yang dianggap hanya modal fisik, butuh tenaga ekstra, berani berkeringat.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar