kode
etik SP3
Kreativitas
anak bangsa Indonesia sangat diluar nalar, akal dan logika bangsa yang jauh
lebih maju, modern. Mulai pariwara kerja di rumah bisa raup untung jutaan Rp,
sehingga Indonesia bebas orang msikin. Di lapangan, zaman Orde Lama ada “petugas
kebersihan” yang memungut putung rokok tembakau. Sekarang, masih aktif dengan
bekal tongkat ujungnya dilengkapi magnet atau besi berani. Bukan untuk
mendeteksi paku ranjau jalan. Tetapi memungut tutup botol dari logam.
Kalau
dibilang masih ada pengangguran, mungkin salah persepsi. Karena banyak pihak
mendirikan lembaga survei. Bisa survei dadakan atau memang survei secara
profesional. Sudah rahasia umum, jika survey politis, sudah bisa ditebak
hasilnya. Apapun rumus, resep, dalil atau pasal yang dianut. Misal, jelang
pilkada atau pesta demokrasi, cara hitung mundur dilakukan. Muncul survei tanpa
survei, atau sampelnya sudah faham akan makna survei. Jajag pendapat pada
tempat dan waktu yang sudah disiapkan, sesuai skenario. Kurang apa lagi Bung!
Lebih
bermartabat lagi, ada pihak yang mampu menerawang isi hati manusia lainnya.
Menjadi orang pintar, mampu mendeteksi nasib orang lain sejak dini. Modal
seperangkat formulasi baik-buruk seseorang, rumus kehidupan, getar jantung dan
suara, gelombang dan nada keluh-kesahnya, entah apa lagi. Ibarat meneropong
bintang, mereka memang melihat yang di atas. Bukan menelisik ada apa dengan
rakyat yang berjuang 24 jam sehari semalam.
Hasilnya
ada semacam SP3 (Survei Popularitas dan Prestasi Pemerintah). Kata yang empunya cerita, memang penonoton sepak bola
Nusantara merasa lebih bisa bermain dengan cantik, cerdas daripada pemain yang
sedang berlaga di lapangan hijau. Peribahasa jadul sudah mengingatkan “meludah ke atas,
terpercik wajah sendiri”. Kalau SP3
sebagai alat politik, tergantung penafsiran pembaca. Pihak ybs merasa daripada
berujar yang miring, tanpa fakta dan realita, merasa lebih bermartabat jika
mengeluarkan SP3. Soal mengeruhkan emosi dan enerji, bukan urusan mereka. Atau memang
ada agenda terselubung, untuk menghindari pengangguran terselubung.
Di éra mégatéga ini,
jangan disalahkan kalau banyak anak bangsa téga nian, téga-téganya, serba téga
menari sambil ndangdhutan di atas
bangkai kawan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar