Halaman

Selasa, 26 Juli 2016

kode etik SP3



kode etik SP3

Kreativitas anak bangsa Indonesia sangat diluar nalar, akal dan logika bangsa yang jauh lebih maju, modern. Mulai pariwara kerja di rumah bisa raup untung jutaan Rp, sehingga Indonesia bebas orang msikin. Di lapangan, zaman Orde Lama ada “petugas kebersihan” yang memungut putung rokok tembakau. Sekarang, masih aktif dengan bekal tongkat ujungnya dilengkapi magnet atau besi berani. Bukan untuk mendeteksi paku ranjau jalan. Tetapi memungut tutup botol dari logam.

Kalau dibilang masih ada pengangguran, mungkin salah persepsi. Karena banyak pihak mendirikan lembaga survei. Bisa survei dadakan atau memang survei secara profesional. Sudah rahasia umum, jika survey politis, sudah bisa ditebak hasilnya. Apapun rumus, resep, dalil atau pasal yang dianut. Misal, jelang pilkada atau pesta demokrasi, cara hitung mundur dilakukan. Muncul survei tanpa survei, atau sampelnya sudah faham akan makna survei. Jajag pendapat pada tempat dan waktu yang sudah disiapkan, sesuai skenario. Kurang apa lagi Bung!

Lebih bermartabat lagi, ada pihak yang mampu menerawang isi hati manusia lainnya. Menjadi orang pintar, mampu mendeteksi nasib orang lain sejak dini. Modal seperangkat formulasi baik-buruk seseorang, rumus kehidupan, getar jantung dan suara, gelombang dan nada keluh-kesahnya, entah apa lagi. Ibarat meneropong bintang, mereka memang melihat yang di atas. Bukan menelisik ada apa dengan rakyat yang berjuang 24 jam sehari semalam.

Hasilnya ada semacam SP3 (Survei Popularitas dan Prestasi Pemerintah). Kata yang empunya cerita, memang penonoton sepak bola Nusantara merasa lebih bisa bermain dengan cantik, cerdas daripada pemain yang sedang berlaga di lapangan hijau. Peribahasa jadul sudah mengingatkan “meludah ke atas, terpercik wajah sendiri”. Kalau SP3 sebagai alat politik, tergantung penafsiran pembaca. Pihak ybs merasa daripada berujar yang miring, tanpa fakta dan realita, merasa lebih bermartabat jika mengeluarkan SP3. Soal mengeruhkan emosi dan enerji, bukan urusan mereka. Atau memang ada agenda terselubung, untuk menghindari pengangguran terselubung.
Di éra mégatéga ini, jangan disalahkan kalau banyak anak bangsa téga nian, téga-téganya, serba téga menari sambil ndangdhutan di atas bangkai kawan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar