menakar ulang peran dan geliat
masyarakat papan bawah
Betapa rakyat atau masyarakat papan
bawah telah melakukan regenerasi, kaderisasi, peremajaan, alih kepemimpinan
profesi atau keahlian, sekaligus pewarisan dalam satu paket. Bisa terjadi
karena dasar profesi atau keahlian tersebut memang karakter rakyat yang hanya
modal tenaga, fisik dan otot, mau nekat berkeringat, serta nyali serta berani
malu plus tanpa kenal waktu. Cukup dengan tiga contoh terjadi di lingkungan
tempat tinggal penulis atau ada fakta yang ditemukan secara tak sengaja, tanpa
niat survei untuk membaca fenomena alam. Sebetulnya masih banyak kejadian yang
mirip, tetapi kadarnya masih setengah-setengah. Apa saja 3 (tiga) contoh
dimaksud.
Pertama, tukang/juru parkir di
halaman BRI setempat. BRI yang kontrak satu ruko, tentunya tidak memiliki
halaman parkir yang “basah”. Namanya rakyat,
yang datang didominasi pemotor, naik angkot, jalan kaki. Tampilan nasabah BRI
memang tampang rakyat. Faktanya, anak lelaki tukang parkir sejalan perjalanan
waktu, magang pada bapaknya. Menimba ilmu sambil praktik. Waktu kerja selama
jam buka BRI. Daerah operasional kepakiran hanya disatu tangan, tidak ada kerja
sama operasi. Saat bapaknya berhalangan, otomatis sang anak yang
menggantikannya. Faktor pengalaman dan bentuk pengabdian, tentu beda pelayanan.
Karena penduduk lokal, sehingga kepenguasaan lahan parkir sejauh ini aman-aman
saja. Entah kalau ada tukang palak, tukang ambil upeti dari pemkot, petugas
pajak dan kebersihan lingkungan. Minimal jarang dilirik apalagi disambangi pengamen.
Jarang terjadi pengemis kesasar.
Kedua, kelompok pemulung yang
mempunyai markas tak jauh dari kompleks. Walau ada beberapa “parpol” utawa
kelompok pemulung yang beroperasi di wilayah kerja yang sama, tidak terjadi
konflik internal. Kesepakatan antar bos atau ambisi yang tidak seperti ambisi
kawanan parpol pada umumnya, sehingga seolah ada mufakat. Perjalanan waktu,
terdapat lelaki yang posturnya dengan tinggi badan di atas rata-rata nasional,
tetapi tetap bertongkrongan rakyat. Modal kerjanya gerobak. Punya koneksi
dengan orang dalam yang buka usaha profit atau alih fungsi kompleks. Keluguannya
memancing rezeki. Dalam arti ada juga warga yang memanfaatkan keahlian
sampingannya. Omong punya bicara, ternyata dan nyatanya pemuda tadi memang
generasi penerus ibunya yang juga pemulung. Di”kementerian” atau “parpol” yang
sama. Sama-sama bermodal gerobak untuk beroperasi.
Ketiga, terjadi di dunia
pembangunan fisik. Tukang batu mendidik anaknya sejak dini. Di daerah asalnya,
sekolah sampai atau tamat SMP sudah terpandang, dianggap punya ilmu. Menuntut ilmu
setinggi dan sejauh mungkin memang butuh berbagi ragam modal. Sang anak,
berawal sebagai buruh, kenek tukang. Singkat kata, sang ayah meningkat
kemahirannya, bisa jadi kepala tukang atau tukang ahli, sang anak mengekor
sebagai tukang yang sudah bisa mandiri. Beda zaman, rasa memilik pekerjaan
antara bapak dengan anaknya, bisa beda walau tak bertolak belakang. Buka sekedar
“.satu guru, satu ilmu”, tetap sebagai generasi penerus yang harus bisa menjaga
nilai-nilai perjuangan tukang batu.
Ketiga fakta di atas, tentu banyak
fakta dan fenomena lainnya. Terjadi di mana saja di wilayah Nusantara. Yang wajib
kita bayangkan, andai tidak ada pihak yang mau menjalankan profesi itu, apa
jadinya? Kita renungkan sambil buang muka. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar