Halaman

Senin, 25 Juli 2016

menakar ulang peran dan geliat masyarakat papan bawah



menakar ulang peran dan geliat masyarakat papan bawah

Betapa rakyat atau masyarakat papan bawah telah melakukan regenerasi, kaderisasi, peremajaan, alih kepemimpinan profesi atau keahlian, sekaligus pewarisan dalam satu paket. Bisa terjadi karena dasar profesi atau keahlian tersebut memang karakter rakyat yang hanya modal tenaga, fisik dan otot, mau nekat berkeringat, serta nyali serta berani malu plus tanpa kenal waktu. Cukup dengan tiga contoh terjadi di lingkungan tempat tinggal penulis atau ada fakta yang ditemukan secara tak sengaja, tanpa niat survei untuk membaca fenomena alam. Sebetulnya masih banyak kejadian yang mirip, tetapi kadarnya masih setengah-setengah. Apa saja 3 (tiga) contoh dimaksud.

Pertama, tukang/juru parkir di halaman BRI setempat. BRI yang kontrak satu ruko, tentunya tidak memiliki halaman parkir yang “basah”. Namanya rakyat, yang datang didominasi pemotor, naik angkot, jalan kaki. Tampilan nasabah BRI memang tampang rakyat. Faktanya, anak lelaki tukang parkir sejalan perjalanan waktu, magang pada bapaknya. Menimba ilmu sambil praktik. Waktu kerja selama jam buka BRI. Daerah operasional kepakiran hanya disatu tangan, tidak ada kerja sama operasi. Saat bapaknya berhalangan, otomatis sang anak yang menggantikannya. Faktor pengalaman dan bentuk pengabdian, tentu beda pelayanan. Karena penduduk lokal, sehingga kepenguasaan lahan parkir sejauh ini aman-aman saja. Entah kalau ada tukang palak, tukang ambil upeti dari pemkot, petugas pajak dan kebersihan lingkungan. Minimal jarang dilirik apalagi disambangi pengamen. Jarang terjadi pengemis kesasar.

Kedua, kelompok pemulung yang mempunyai markas tak jauh dari kompleks. Walau ada beberapa “parpol” utawa kelompok pemulung yang beroperasi di wilayah kerja yang sama, tidak terjadi konflik internal. Kesepakatan antar bos atau ambisi yang tidak seperti ambisi kawanan parpol pada umumnya, sehingga seolah ada mufakat. Perjalanan waktu, terdapat lelaki yang posturnya dengan tinggi badan di atas rata-rata nasional, tetapi tetap bertongkrongan rakyat. Modal kerjanya gerobak. Punya koneksi dengan orang dalam yang buka usaha profit atau alih fungsi kompleks. Keluguannya memancing rezeki. Dalam arti ada juga warga yang memanfaatkan keahlian sampingannya. Omong punya bicara, ternyata dan nyatanya pemuda tadi memang generasi penerus ibunya yang juga pemulung. Di”kementerian” atau “parpol” yang sama. Sama-sama bermodal gerobak untuk beroperasi.

Ketiga, terjadi di dunia pembangunan fisik. Tukang batu mendidik anaknya sejak dini. Di daerah asalnya, sekolah sampai atau tamat SMP sudah terpandang, dianggap punya ilmu. Menuntut ilmu setinggi dan sejauh mungkin memang butuh berbagi ragam modal. Sang anak, berawal sebagai buruh, kenek tukang. Singkat kata, sang ayah meningkat kemahirannya, bisa jadi kepala tukang atau tukang ahli, sang anak mengekor sebagai tukang yang sudah bisa mandiri. Beda zaman, rasa memilik pekerjaan antara bapak dengan anaknya, bisa beda walau tak bertolak belakang. Buka sekedar “.satu guru, satu ilmu”, tetap sebagai generasi penerus yang harus bisa menjaga nilai-nilai perjuangan tukang batu.

Ketiga fakta di atas, tentu banyak fakta dan fenomena lainnya. Terjadi di mana saja di wilayah Nusantara. Yang wajib kita bayangkan, andai tidak ada pihak yang mau menjalankan profesi itu, apa jadinya? Kita renungkan sambil buang muka. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar