Halaman

Senin, 18 Juli 2016

RASA SESAL, jiwa dan jati diri réligius umat Islam



RASA SESAL, jiwa dan jati diri réligius umat Islam
                              

Peribahasa pun berujar bahwa “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna”, maksud formal dari segi kebahasaan adalah bila hendak melakukan atau mengerjakan sesuatu, hendaknya dipertimbangkan lebih dahulu baik buruknya. Secara islami, berpikir merupakan kebebasan daya jangkau dan ruang gerak akal untuk melihat kemanfaatan, kemaslahatan suatu tindakan. Maslahat secara bahasa dapat dimaknai sebagai manfaat, kebaikan dan jauh dari kerusakan. Jadi, maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan / mencegah kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat). Berpikir dimaksudkan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Pesatnya kemajuan zaman dan peradaban, berdampak pada logika manusia dalam menyikapi kehidupan. Bagi umat Islam, kemampuan berpikir termasuk membaca ayat kauniyah, membaca fenomena alam, mendeteksi gejala alam yang hanya bisa ditangkap oleh indra binatang.

Walhasil, ironis memang, koruptor yang menjadi terpidana malah menjadi bintang utama media penyiaran TV. Katakan, pelaku tindak pidana korupsi, tidak pandang bulu. Bahkan tidak periksa jenis kelamin, tidak selidik ijazah formal, tidak timbang berat badan, tidak cek golongan darah, tidak melacak silsilah dan asal-usul keturunan. Mereka menampakkan rasa sesal, penyesalan hanya karena satu pengertian yaitu “kenapa tertangkap, kenapa ketahuan, kenapa sampai diadili”. Padahal, mereka yang mampu mengeduk, mengeruk “pendapatan” sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya, merasa mampu menimbun hukum, membayar biaya perkara sesuai pesanan. Nyatanya, bernasib sial atau karena berada di tempat yang salah, pada posisi yang tidak tepat dan waktu yang tidak semestinya. Rasa sesal bukan akibat permainan watak, akting atau jurus tipu-tipu agar dikasihani. Agar mendapat hukuman seringan mungkin, terlebih jika tersangka banyak jasanya.

Aspek kehidupan lainnya menyiratkan bahwa risiko perjuangan, dampak sebagai pejuang politik, efek  mengagamakan ideologi, ekses terjun ke panggung, industry dan syahwat politik, menjadikan kawanan politisi sipil minim rasa sesalnya. Kalau ada simpanan rasa sesal, yaitu hanya dipakai, muncul ketika berurusan dengan pihak berwajib, semisal menjadi terpidana korupsi. Soal negara menjadi langganan bencana politik, bukan urusannya. Rakyat mau menjadi semakin melarat, peduli amat. Tujuan utama dan pertama dan teramat penting, bagaimana periode ini bisa mulus sampai terminal akhir, tidak turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo, tidak terganjal, terjegal pasal pidana maupun perdata, serta di periode mendatang tetap eksis, berkibar dan berkacak pinggang lagi. Lepas siang kalah atau siap menang.

Untuk urusan dunia, seperti contoh di atas, betapa rasa sesal bisa sebagai faktor pengingat, jangan sampai kita terjerumus akibat ketidaktahuan diri. Atau bahkan kita karena menginginkan hasil usaha yang maksimal, sehingga kita sengaja pura-pura tidak tahu. Bukannya otak tidak melarang.  Hati nurani sudah mengingatkan sejak dini. Tak kurang pengalaman orang lain bisa diambil hikmahnya. Kita merasa berada di zona aman, yang selama ini tidak ada peringatan dari-Nya. Merasa di zona bebas untuk berbuat apa saja. Zona bebas aktif.

Posisi, peran dan potensi akal, dalam hal “pikir dahulu pendapatan” mempunyai peran sentral dan posisi menentukan. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat akal seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya, daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi (kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 37] :  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”

Jika otak diperas sampai ampas terakhir, kita tetap tak mendapat jawaban, kita kembali ke iman. Karena semua yang terjadi dan yang akan terjadi sesuai kehendak Allah. Ikhwal apa yang akan kita lakukan atau akan kita kerjakan, dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al An’aam (6) : 49] :  Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

Uraian sebelum ini, menjelaskan kewajiban manusia untuk berusaha, baik untuk urusan dunia maupun urusan akhiratnya. Umat Islam yang tahu pahala, akan menyesal mengapa tidak total beramal. Kita belajar dari kisah sahabat Rasulullah saw, yang bernama Sya’ban.  Sya’ban bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa tidak optimal. Sesal sebagai dasar evaluasi diri, untuk menjaga stabilitas iman dan taqwa. Menjaga diri agar peyimpangan tidak terlalu besar, terlalu lama. Dengan sesal sebagai dasar peduli nasib perjalanan hidup menuju kampung akhirat. Jangan sesali diri kenapa mendadak waktu berlalu singkat. Kisah Sya’ban terkait dengan Al-Qur’an [QS Qaaf (50) : 22] :  Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Saat Sya’ban dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT sekaligus dengan semua ganjaran dari perbuatannya.

Rasa sesal sebagai dorongan jiwa, kata hati, yang otomatis keluar ketika kita menghadapi kondisi tidak seperti yang kita harapkan. Menghadapi kejadian yang terlanjur terjadi, diluar jangkauan dan akal manusia, sudah seperti “nasi sudah menjadi bubur”, bukannya menyesal, malah mengutuk keadaan. Menyalahkan tuhan yang tidak adil, tuhan pilih kasih. Merasa segala pengorbanan tidak menadapat imbalan yang pantas, yang layak.

Umat Islam wajib bersyukur, selama masih bisa mempunyai rasa sesal. Terlebih jangan sampai muncul penyesalan saat hari kiamat. Walau dalam konotasi seperti kisah sahabat Rasulullah saw yaitu Sya’ban. Kita acap berbuat sesuatu secara otomatis, kejadian rutin harian. Kita memulai kehidupan dari pagi hari hingga pagi hari berikutnya. Rasa sesal muncul, penyesalan timbul setelah tahu bahwa perbuatan kita salah, atau berbuah dengan bentuk dosa sekecil apapun. Rasa sesal diikuti dengan tindakan untuk tidak mengulang kesalahan dan dosa yang sama.

Lepas dari pendapat bahwa penyesalan hanya terjadi di hari kiamat kelak, sebagaimana firman Allah di Al-Qur’an [QS Al Qiyaamah  (75) : 1-2] :  Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.  Dimaksudkan bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan. Rasa sesal umat Islam bukan karena sekedar telah melakukan kesalahan, tetapi tidak melaksanakan perintah Allah dengan optimal sekaligus menjauhi larangan Allah dengan kuat.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar