RASA SESAL, jiwa dan jati diri réligius umat
Islam
Peribahasa pun berujar bahwa “pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna”, maksud formal dari segi kebahasaan adalah bila hendak
melakukan atau mengerjakan sesuatu, hendaknya dipertimbangkan lebih dahulu baik
buruknya. Secara islami, berpikir merupakan kebebasan daya jangkau dan ruang gerak akal untuk melihat
kemanfaatan, kemaslahatan suatu tindakan. Maslahat secara bahasa dapat
dimaknai sebagai manfaat, kebaikan dan jauh dari kerusakan. Jadi,
maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi
mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan / mencegah
kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat). Berpikir dimaksudkan
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Pesatnya kemajuan
zaman dan peradaban, berdampak pada logika manusia dalam menyikapi kehidupan.
Bagi umat Islam, kemampuan berpikir termasuk membaca ayat kauniyah, membaca
fenomena alam, mendeteksi gejala alam yang hanya bisa ditangkap oleh indra
binatang.
Walhasil, ironis memang, koruptor yang menjadi terpidana
malah menjadi bintang utama media penyiaran TV. Katakan, pelaku tindak pidana
korupsi, tidak pandang bulu. Bahkan tidak periksa jenis kelamin, tidak selidik
ijazah formal, tidak timbang berat badan, tidak cek golongan darah, tidak
melacak silsilah dan asal-usul keturunan. Mereka menampakkan rasa sesal,
penyesalan hanya karena satu pengertian yaitu “kenapa tertangkap, kenapa
ketahuan, kenapa sampai diadili”. Padahal, mereka yang mampu mengeduk, mengeruk
“pendapatan” sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya, merasa mampu
menimbun hukum, membayar biaya perkara sesuai pesanan. Nyatanya, bernasib sial
atau karena berada di tempat yang salah, pada posisi yang tidak tepat dan waktu
yang tidak semestinya. Rasa sesal bukan akibat permainan watak, akting atau
jurus tipu-tipu agar dikasihani. Agar mendapat hukuman seringan mungkin,
terlebih jika tersangka banyak jasanya.
Aspek kehidupan lainnya menyiratkan bahwa risiko
perjuangan, dampak sebagai pejuang politik, efek mengagamakan ideologi, ekses terjun ke panggung,
industry dan syahwat politik, menjadikan kawanan politisi sipil minim rasa
sesalnya. Kalau ada simpanan rasa sesal, yaitu hanya dipakai, muncul ketika
berurusan dengan pihak berwajib, semisal menjadi terpidana korupsi. Soal negara
menjadi langganan bencana politik, bukan urusannya. Rakyat mau menjadi semakin
melarat, peduli amat. Tujuan utama dan pertama dan teramat penting, bagaimana
periode ini bisa mulus sampai terminal akhir, tidak turun di tengah jalan
sebelum jatuh tempo, tidak terganjal, terjegal pasal pidana maupun perdata,
serta di periode mendatang tetap eksis, berkibar dan berkacak pinggang lagi. Lepas
siang kalah atau siap menang.
Untuk urusan dunia, seperti contoh di atas, betapa rasa
sesal bisa sebagai faktor pengingat, jangan sampai kita terjerumus akibat
ketidaktahuan diri. Atau bahkan kita karena menginginkan hasil usaha yang
maksimal, sehingga kita sengaja pura-pura tidak tahu. Bukannya otak tidak
melarang. Hati nurani sudah mengingatkan
sejak dini. Tak kurang pengalaman orang lain bisa diambil hikmahnya. Kita
merasa berada di zona aman, yang selama ini tidak ada peringatan dari-Nya. Merasa
di zona bebas untuk berbuat apa saja. Zona bebas aktif.
Posisi, peran dan potensi
akal, dalam hal “pikir dahulu
pendapatan” mempunyai peran sentral
dan posisi menentukan. Kinerja akal yang harus dominan. Karena semakin kuat
akal seseorang, akan menentukan proses berpikir, berucap dan bertindak. Pasalnya,
daya akal dapat meluruskan jiwa yang cenderung tertarik gravitasi bumi
(kenikmatan duniawi). Ikhwal akal dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Qaaf (50) :
37] : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya,
sedang dia menyaksikannya.”
Jika otak diperas sampai ampas terakhir, kita tetap tak
mendapat jawaban, kita kembali ke iman. Karena semua yang terjadi dan yang akan
terjadi sesuai kehendak Allah. Ikhwal apa yang akan kita lakukan atau akan kita kerjakan, dijelaskan dalam Al-Qur’an [QS Al An’aam (6) :
49] : Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"
Uraian sebelum ini, menjelaskan kewajiban manusia untuk
berusaha, baik untuk urusan dunia maupun urusan akhiratnya. Umat Islam yang
tahu pahala, akan menyesal mengapa tidak total beramal. Kita belajar dari kisah
sahabat Rasulullah saw, yang bernama Sya’ban.
Sya’ban bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa tidak
optimal. Sesal sebagai dasar evaluasi diri, untuk menjaga stabilitas iman dan
taqwa. Menjaga diri agar peyimpangan tidak terlalu besar, terlalu lama. Dengan
sesal sebagai dasar peduli nasib perjalanan hidup menuju kampung akhirat. Jangan
sesali diri kenapa mendadak waktu berlalu singkat. Kisah Sya’ban terkait dengan
Al-Qur’an [QS Qaaf (50) :
22] : “Sesungguhnya kamu berada
dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang
menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” Saat Sya’ban dalam
keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT
sekaligus dengan semua ganjaran dari perbuatannya.
Rasa sesal sebagai dorongan jiwa, kata hati, yang
otomatis keluar ketika kita menghadapi kondisi tidak seperti yang kita
harapkan. Menghadapi kejadian yang terlanjur terjadi, diluar jangkauan dan akal
manusia, sudah seperti “nasi sudah menjadi
bubur”, bukannya menyesal, malah mengutuk keadaan. Menyalahkan
tuhan yang tidak adil, tuhan pilih kasih. Merasa segala pengorbanan tidak
menadapat imbalan yang pantas, yang layak.
Umat Islam wajib bersyukur, selama masih bisa mempunyai
rasa sesal. Terlebih jangan sampai muncul penyesalan saat hari kiamat. Walau
dalam konotasi seperti kisah sahabat Rasulullah saw yaitu Sya’ban. Kita acap
berbuat sesuatu secara otomatis, kejadian rutin harian. Kita memulai kehidupan
dari pagi hari hingga pagi hari berikutnya. Rasa sesal muncul, penyesalan
timbul setelah tahu bahwa perbuatan kita salah, atau berbuah dengan bentuk dosa
sekecil apapun. Rasa sesal diikuti dengan tindakan untuk tidak mengulang
kesalahan dan dosa yang sama.
Lepas dari pendapat bahwa penyesalan hanya terjadi di
hari kiamat kelak, sebagaimana firman Allah di Al-Qur’an [QS Al
Qiyaamah (75) : 1-2] : “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan
jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. Dimaksudkan bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal
kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan. Rasa
sesal umat Islam bukan karena sekedar telah melakukan kesalahan, tetapi tidak
melaksanakan perintah Allah dengan optimal sekaligus menjauhi larangan Allah
dengan kuat.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar