nilai ideologis hanya bermanfaat saat partai berkuasa
Jauh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan NKRI, bangsa dan rakyat sudah
mengenal apa itu partai politik. Minimal telah ada pergerakan kebangsaan
sebagai cikal bakal wadah kegiatan yang mutifungsi, multimanfaat dan multiguna.
Kendati kegiatan saat itu berbasis religi (agama Islam), fokus kegiatan
ekonomi, mengutamakan praktik jual beli.
Radikalisme pelaku, pemain, pekerja politik yang terkontaminasi ideologi Rp,
serta paham bahwa berpolitik adalah cara konstitusional, yuridis, formal untuk
merebut kekuasaan, semakin menjadikan partai politik hanya untuk kepentingan
sesaat. Bukan untuk kemanfaatan, kemaslahatan umat jangka panjang. Kondisi
bangsa dan negara diperparah dengan bahwa yang berlaku adalah kebijakan partai parpol
pemenang atau juara umum pesta demokrasi.
Nasakom di era Orde Lama, meneguhkan platform, aliran ideologi dari parpol
yang berdiri. PKI menjadi senjata makan tuan, menggunting dalam lipatan,
menohok kawan seiring liwat peristiwa Madiun September 1948 dan G30S 1965. Parpol
yang identik pemerintah, marak di era Orde Baru yang membuat sang penguasa tunggal
betah bertengger di kursi presiden sampai di-lengserkeprabon-kan oleh kekuatan rakyat (people power) melalui Reformasi 21 Mei 1998.
Pasca reformasi, muncul oposisi banci, oposisi setengah hati dari kawanan
barisan sakit hati. Dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, jujur saja membuktikan
bahwasanya politisi sipil belum ada apa-apanya. Ironis nyaris tragis, parpol
pemenang pesta demokrasi 2014, yang berpengalaman selama dua periode duduk
manis di bangku cadangan, ternyata nyatanya tidak siap menang. Mereka tidak
punya andalan ajaran ideologi dan tidak punya stock kader yang layak tanding di
pilpres 2014.
Revolusi mental, andalan pemerintah Jokowi-Jk, sebagai hasil penerawangan Jokowi
terhadap mental peneylenggara negara yang terikat kontrak politik. Oknum penyelenggara
negara sekedar tunggu jatuh tempo. Memang ada yang kebal perombakan kabinet. Ada
presiden senior, ada siapa sebenarnya yang jadi presiden. Bagi yang kebelet
kaya, terpaksa berurusan dengan KPK. Bagi yang tidak betah antri, alih fungsi
atau menjadi kader kutu loncat.
Kita tidak tahu pasti, politik macam apa yang sedang terjadi di negeri ini.
Tentunya bukan “nasakom” gaya baru, terkini. Ataukah sudah menjadi perpanjangan
tangan konspirasi internasional. Wallahu a’lam bisshawab.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar