Halaman

Selasa, 27 Agustus 2019

Pindah Ibu Kota vs Tambah Ibu Pertiwi


Pindah Ibu Kota vs Tambah Ibu Pertiwi

Hukum politik berlaku. Sesuai asas no free lunch, maka pajak progresif berlaku pada pengguna biaya politik periode kedua, periode lanjutan. Nafsu politik tak kenal lelah, tak kenal istilah kalah. Menghalalkan segala pasal, asal tujuan terwujud.

Ketika komponen lokal, komponen dalam negeri malah menghasilkan kendaraan politik yang tak laik secara teknis. Atau hanya bisa untuk jarak tempuh pendek vs waktu tempuh panjang. Plan-B atau Rencana-B, padahal alternatif utama, pakai komponen global yang tampak lebih menjanjikan.

Efek domino pemanfaatan komponen lokal adalah mendongkrak wibawa negara bak gula pemanis rendah martabat. Sekedar pemanis, sekedar sebagai anak manis. Sigap laksanakan kontrak politik bilateral.

Hukum keseimbangan bergulir. Rekam jejak biro jasa kawal nusa. Jam terbang alat negara pengayom masyarakat, penyandang wewenang berhadapan langsung dengan rakyat di pulau padat penduduk.  Berujar, bahwasanya lokasi calon ibu kota dijamin aman. Tidak akan ada aksi siraman air keras. Semua terkendali, terkoordinasi, terkomunikasi secara tepat jabatan.

Artinya, ruang gerak, daya jelajah Ibu Pertiwi II tak akan ada pihak yang berani main usik. Acara ruwatan ke pantai atau ke gunung, diganti dengan pesta gelar karpet merah. Menjadi ritual kenegaraan yang tak boleh terabaikan.

Kian tinggi singgasana, kian besar mahkota, kian mudah diungkit. Pembiaran oleh rakyat demi persatuan dan keutuhan nusantara. Sejalan status sosial menengah-atas bertambah maka berbanding lurus dengan menipisnya rasa bela negara. Berdaya saing dengan sumber daya asing di negeri sendiri. Akhirnya, generasi yang belum lahir sudah merasa asing dalam keterasingan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar