Pindah Ibu Kota vs
Tambah Ibu Pertiwi
Hukum politik berlaku. Sesuai asas no free lunch, maka pajak
progresif berlaku pada pengguna biaya politik periode kedua, periode lanjutan.
Nafsu politik tak kenal lelah, tak kenal istilah kalah. Menghalalkan segala pasal,
asal tujuan terwujud.
Ketika komponen lokal, komponen dalam negeri malah menghasilkan kendaraan
politik yang tak laik secara teknis. Atau hanya bisa untuk jarak tempuh pendek
vs waktu tempuh panjang. Plan-B atau Rencana-B, padahal alternatif utama, pakai
komponen global yang tampak lebih menjanjikan.
Efek domino pemanfaatan komponen lokal adalah mendongkrak wibawa negara bak
gula pemanis rendah martabat. Sekedar pemanis, sekedar sebagai anak manis.
Sigap laksanakan kontrak politik bilateral.
Hukum keseimbangan bergulir. Rekam jejak biro jasa kawal nusa. Jam terbang
alat negara pengayom masyarakat, penyandang wewenang berhadapan langsung dengan
rakyat di pulau padat penduduk. Berujar,
bahwasanya lokasi calon ibu kota dijamin aman. Tidak akan ada aksi siraman air
keras. Semua terkendali, terkoordinasi, terkomunikasi secara tepat jabatan.
Artinya, ruang gerak, daya jelajah Ibu Pertiwi II tak akan ada pihak yang
berani main usik. Acara ruwatan ke pantai atau ke gunung, diganti dengan pesta
gelar karpet merah. Menjadi ritual kenegaraan yang tak boleh terabaikan.
Kian tinggi singgasana, kian besar mahkota, kian mudah diungkit. Pembiaran oleh
rakyat demi persatuan dan keutuhan nusantara. Sejalan status sosial
menengah-atas bertambah maka berbanding lurus dengan menipisnya rasa bela
negara. Berdaya saing dengan sumber daya asing di negeri sendiri. Akhirnya,
generasi yang belum lahir sudah merasa asing dalam keterasingan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar