olahan
politik nusantara tak perlu sertifikat halal
Tak perlu fakta. Satu siung bawang
putih, cukup untuk bumbu lauk olahan sendiri. Porsi mandiri bukan satu
keluarga. Beli ketoprak, baru menggiggit pakai cabai rawit minimal 3 biji plus
bawang putih beberapa siung. Kalau satu bonggol untuk sayur sekeluarga. Lantas,
berapa jumput atau satu sudut sendok teh garam dapur.
Pepatah ekonomi kuno, sejumput
garam memang asin. Namun jika dikemas impor sesedikit kapal kontainer, terasa
‘manis’. Cabai menjadi cabai-cabaian meramaikan budaya generasi tanpa budaya.
Serba tanggung dan canggung. Budaya lokal juga bukan, budaya global jauh amat.
Lauk pauk klas rakyat berbahan
dasar kedelai. Ikut menggoyang lidah penguasa, termasuk wakil rakyat. Dalih
kedelai berklas lebih menghasilkan tempe dan tahu layak saji di meja jamuan
kenegaraan, maka daripada itu kran impor dibuka percuma, bebas aktif.
Kepdeulian terhadap urusan perut
rakyat, dapur rakyat menjadikan wakil rakyat bak dewa penyelamat. Tepat
manfaatnya dewa pensejahtera partai dan kawanannya. Pratanda akhir zaman
peradaban sudah nyata.
Akhirnya, perpaduan pasal manusia politik dengan rumus
manusia ekonomi menghasilkan. Pakai jurus pamungkas aji mumpung vs mumpung aji.
Bayangkan jika 1 (satu) biji kedelai dikenai pajak ‘tahu sama tahu’ dan ‘tempe
sama tempe’ oleh pihak pemberi restu impor. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar