Membaca Getaran Hati
Karakter manusia dan atau orang
sebagai makhluk berakal adalah rasa bimbang. Menjurus ke tak mampu
mengendalikan diri. Wajar karena kita bukan pemilik diri kita. Apalagi berlagak
bak penguasa. Bukti harian, kita tak mampu mengatur diri sendiri. Tak mampu
mengendalikan dan atau mengatur diri sendiri untuk segera lelap malam. Kendati tubuh
sudah terlentang di atas pulau kasur.
Banyak kejadian yang tampak
ringan, seringa dianggap ringan. Kata ahlinya, kita acap berdiri di simpang
jalan. Mana jalan lurus dan sebaliknya. Fatamorgana nikmat dunia menantang di
depan mata. Langkah yang sudah kita habiskan, seolah mengarah ke masa depan.
Rutinitas harian menjadikan kita
bak robot hidup. Pergeseran waktu sholat tak berpengaruh pada jadwal
kesibukkan. Hati ini terasah oleh kebiasaan yang tak mampu meninggalkan kebiasaan.
Benturan demi benturan malah kian merasa teruji. Merasa mampu bersaing dengan
pihak pesaing.
Putaran jarum jam atau laju waktu
digital membuat hati ini kian terstruktur dan bercabang. Lupa akan Sang
Pembolak-balik Jiwa. Beban kehidupan membuat hati kian mantap akan tindakan
rutin, berulang, tipikal.
Kita terbiasa berdoa adalah
memohon. Membuat daftar belanja yang diajukan kepada-Nya. Mengajukan resolusi. Menetapkan
mosi atau keluhan atas ketidakadilan yang menimpa diri. Seolah bukan kesalahan
diri sendiri.
Mantapkan doa tanpa kata. Kembalikan
semua urusan kepada pemilik diri kita. Bahkan bernafas pun, kalau tidak dengan
tindak turun tangan, campur tangan-Nya, kita sulit bernafat dengan benar, baik,
bagus. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar