Bedol Ibu Kota Negara, Target Mental
vs Sasaran Fisik
Adalah
oknum presiden ke-7 RI yang menurut
Undang-Undang Dasar sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan juga sebagai bagian
pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Sigap masuk lanjut ke periode kedua. Merasa
punya hak dan wewenang di atas hak prerogatif model manapun.
Berbekal
pengalaman di periode 2014-2019, berkat kemanjuran ramuan lokal revolusi
mental, tanpa sadar masuk kuadran “sabda raja adalah hukum”. Kendati UUD 1945 tidak menjelaskan “kekuatan
sabda” dimaksud.
Pakai
hukum keseimbangan. Semakin banyak produk hukum ditetapkan, bukti kian banyak
pelanggaran hukum. Serta berbanding lurus dengan upaya perlindungan hukum atas
tindakan yang tidak pro-rakyat. Kian menggambarkan praktik konspirasi dan
skenario makro.
Besaran
dana, cakupan biaya, beban ongkos, dan sebangsanya tidak masuk hitungan. Tinggal
melaksanakan. Bahkan ada niat mulia, pas Indonesia Emas 2045, sang oknum kepala
negara mau meresmikan ibu kota NKRI yang anyar.
Akhirnya,
belum berakhir. Demi wibawa kursi di mata rakyat. Kursi ditinggikan dengan
pengorbanan dua kaki kursi depan dipotong. Disambungkan ke dua kaki kursi
belakang. Stabilitas terjaga berkat dukungan tenaga non-dalam. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar