wolak-waliking zaman anéh, pawang kursi vs dukun politik
Tidak ada hal yang anéh terlebih nganèh-anèhi.
Karakter demokrasi multipartai mensyaratkan bebas kuota orang anéh selaku
pengurus, kader parpol.
Pihak penyandang sertifikat ‘orang
anéh’ diharapkan kontribusi nyatanya. Bukan saling adu ilmu. Pawang politik
yang tetap setia pada pihak tertentu atau tergantung bayaran, tertantang.
Merasa dapat angin surga untuk pamer ilmu dan unjuk gigi. Menaikkan peringkat.
Ritual tolak bala lebih berbasis
adat animisme dan dinamisme. Jangan ulangi
kesalahan dan dosa politik yang sama. Kadang
kala, kalabendu (jaman yang buruk) kebaca sebelum waktunya. Paling tidak
tingkah laku manusia tanpa tetenger (cirénan)
generasi nanging wis ketenger (keciri; ditengarai), bak kaladuta (alamat buruk). [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar