apa . . . haa . . .
Ini cerita masih sedang dalam proses konstruksi maupun rekonstruksi. Disinyalir
jauh dari dugaan pasal penyakit mulut
dan kuku. Berlanjut 24 di jalanan sampai parlemen atau panggung wakil rakyat.
Tidak pandang bulu jenis kelamin maupun
kadar ideologi bawaan. Paket bahasa tubuh – goyang tanpa goyang –bekorelasi
dengan ekspresi wajah, bukaan mulut.
Hanya bisa terlaksana pada acara tatap muka langsung,
Terbiasa biasa bicara searah.
Diminta maupun tidak diminta. Ngeceplos polos lolos nyaris tanpa titik koma. Melihat pendengar diam, dikira menyimak
dengan seksama. Menambah semangat dan kreativitas ujar bebas tanpa sanksi.
Begitu ada pihak memotong atau menyela pembicaraan.
Pura-pura tidak dengar. Biar dikira sibuk
mikir saja lama. Terkaget-kaget diberi tahu ada pihak yang ingin tahu.
Meminta pertanyaan diulang secara jelas,
pelan, terstruktur sambil menyodorkan kupingnya.
“Apa .
. .” reaksi spontan. Wajah menyiratkan belum paham
maksudan lawan bicara. Jidat berlipat, seolah mikir berat . Bukti ringan
daya dong rendah. Tepuk tangan, teriakan, suit-suit hadirin mendongkrak
rasa bangga. Selaku narator kebangsaan, tepat tidak tepat, pokoknya asal
menjawab. Terjadilah diskusi, dialog, debat tanpa tema.
“Haa . . .
“ serunya plus mata ternganga. Kuping masih berfungsi. Daya cerna otak perlu
stimulus. Belum nyambung antara hafalan dengan pertanyaan sederhana.
Mulut komat-kamit unjuk kepakarannya. Telunjuk
bergetar di bawah sadar. Pertanyaan mirip
pernyataan dianggap tuduhan balik.
Menguak fakta jati dirinya. Semakin disangkal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar