wegah rugi, apa manèh mènèhi wong liya
Makanya, adab berbangsa lebih familier dengan sebutan tukar guling.
Diangkat seangkatan menjadi politik transaksional. Pengusaha
asli pribumi nusantara, terbiasa dengan fenomena gulung tikar. Apa
iya bangsa yang superheterogen, mégakompleksitas, serba multi ini mudah
dituntun. Beda pilihan, beda warna partai cukup jadi alasan “main polisi
keroyokan di tempat”
Belum ada lembaga survei tanpa
survei, paket survei hemat berbayar sesuai pesanan dengan pola hitung mundur.
Bahwasanya, setiap kabupaten/kota terwakili generasi media sosial (medsos).
Walau mungkin tidak tersedia di semua provinsi. Aspek lain,
malah bisa sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan
lainnya. Sejarah kaping pitu membuktikan bahwa genereasi medsos
menjadi kelompok elit. Jangan heran, semacam petugas partai atau presiden,
tampak riang jenaka ber-medsos. Entah motif, corak, ragam dan bentuk
tayangannya. Penulis belum pernah melihat.
Kali ini ambil garis tengah.
Mewakili semua pihak dimaksud. Pihakan yang merasa walau tidak disebut, apalagi
disenggol. Fakta tancap gas, langsung gebèr tiada gigi dua. Selalu ada di muka
pak kusir yang sedang bekerja. Andalkan peta sejarah masa lalu. Kapan
sampainya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar