gila, tanpa bakat tanpa rencana
Kata ‘gila’ malah menunjukkan
kesehatan, kewarasan, kenormalan manusia. Ide-ide gila muncul dari potensi diri
manusia genius, super, cerdas, brilian. Daya otak di atas rata-rata manusia. Gila
hormat, gila jabatan, gila pangkat bukan penyakit rakyat jelata. Lidah rakyat
membaca lema ‘gila’ dilafalkan jadi édan, sinting, gedeng, gemblung,
tiyang éwah. Beda dengan nggilani. Terjadi ketika rakyat melihat orang gila
kursi.
Perilaku yang dipertontonkan oleh manusia
politik – tepatnya wayang politik, robot ideologi, boneka partai, budak partai
– menampilkan menu yang tidak dibutuhkan rakyat. Antar parpol yang jagonya
maju, atau mendukung jago lawan politik, sepertinya sedang rembug serius.
Rembug politik tak jauh dari arisan kekuasaan. Sesama petugas partai dilarang
saling berebut kursi yang sama.
Paribasan njawani berbasis tembung ‘édan’,
mengalami penyesuaian. Tiwas édan tenan, tetep
ora keduman. Édan pitung keturunan tetep durung keturutan. Terjadi di
nusantara, orang yang sama-sama tidak tahu tapi punya gaya sok tahu. Jujur
menjawab “tidak tahu” takut dianggap lebih bodoh ketimbang orang gila. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar