ojo gumunan, riwayat pribadi di cangkem tetangga
Peretasan dokumen rahasia milik negara,
data penduduk bocor. Hal biasa. Masalah kecil. Anggaran pembangunan “bocor” sedari awal. Tersirat pada sistem penganggaran. Kompromi
politik bebas sanksi. Frasa “tidak
merupakan akibat yang harus nyata terjadi”.
Jangankan skala nusantara. Daya jelajah,
tembus, rekam radar tetangga tidak ada duanya. Belum diatur secara tersurat,
éksplisit yuridis formal di pasal “adab bertetangga”. Tetangga dimaksud, sejak pensiun dari Pertamina kembali ke kampung halaman, lokasi kelahiran. Rumah
dihuni anak sulung plus cucu. Terjadilah kejadian 3 (telu) kali kejadian
di luar akal sehat manusia sehat.
Pertama. Entah kapan datang ke rumah anaknya. Saat tatap muka, langsung tunjuk plus ujar bahwa saya
dulu suka sakit. Jadi, kalau ke masjid, saya temani jalan kaki cepat. Malah pasang
tampang asli bégo. Tidak kuat jalan kaki jawabnya memelas. Sholat saja duduk
di bangku.
Kedua. Suatu pagi pagi tanpa diminta mendahului tanya:”Tadi
tidak kelihatan di masjid? Sakit ya!”. Tangan
kanan menujuk wajah saya. Baru semingguan ke masjid merasa “ahli masjid”.
Ketiga. Jelang lelap
malam. Pemanasan kaki sekitar blok tempat tinggal. Gaya zig-zag, putar balik tanpa beri tanda. Kebetulan tetangga yang
terhormat lewat mbonceng cucunya. Mulut nerocos bocor sambil main tunjuk:“Jalannya
aneh . . . “. Lanjut
pagi harinya. Buka mulut tentang temuan semalam:”Jalan
tiba-tiba mbalik. Bingung karena umur ya?” Tidak kujawab, karena ada anak
sulungnya. Kesempatan berkutnya. Saat sua langsung saya damprat:”belum paham
teknik jalan kaki!”. Komentar bukan tanda orang cerdas, malah pamer bégo.
Wajarlah namanya tetangga. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar