demokrasi makan demokrasi
Imbas korban iklan layar kaca. Situasional dan kondisional. Kerennya, iklan
naik makna disebut “pariwara”. Kapan mau bilang tntang “demokrasi”.
Berkat Perubahan Keempat (tahun 2002) UUD NRI Tahun
1945, menghasilkan tambahan pada Pasal 33, tepatnya berupa ayat (4):
Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Lebih dari seribu fakta atau alasan bahwasanya perlu dicantumkan istilah
demokrasi ekonomi. Bukan pesanan dari
manusia ekonomi yang pada prakteknya menguasai, mendikte dan menentukan kinerja
manusia politik. Kalau murni inisiatif manusia politik, apa boleh buat.
Bukan buat apa boleh.
Dibilang juga bahwa sendi-sendi politik bernegara mencakup antara lain sendi
demokrasi. Jadi, demokrasi nusantara tidak sekedar
bak sistem, jaringan secara horizontal sekaligus berlapis vertikal. Wujudan
mufakat untuk ambi keputusan lewat mekanisme musyawarah. Menampilkan sisi pasal
“hukum rimba”.
Demokrasi nasakom, mayoritas tunggal, multipartai plus tirani minoritas . . . . . tak tentu rimbanya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar