mulus-mulus tanpa gaduh sesuai skenario penggaduh
Manusia politik nusantara berketurunan
sibuk di tempat. Ciri wanci anak cucu ideologis nyadong dawuh, sendiko dawuh. Ora
siap dhawah. Duduk manis tangan dilipat, tunggu waktu tutup buku.
Pesta demokrasi daripada era rezim politik-militer Orde Baru, pakai asas
luber (lubangi beringin). Kemudian berlanjut longsoran rezim reformasi, modus
negara multipartai. Juara umum pesta demokrasi merasa berhak meraup semua kursi
trias politika. Pernah menjadi oposisi banci, oposan apa oplosan, lanjut zona
merah terintegrasi. Bisul politik bersebut tirani minoritas, tetap eksis di
setiap periode pemerintah.
Betapa petinggi partai politik dadakan, panasadem menempel penguasa. Merasa
selaku penyokong, pendorong, dukungan suara
sekaligus lonjakan suara legislatif. Masuk babak kedua, merasa jatah kursi
eksekutif tidak sebanding. Merasa
kecolongan, tiwas dandan. Tanpa aba-aba, bebas komando siapa saja langsung balik
diri. Topeng bopeng politik tidak bermanfaat lagi. Topeng model yang bagaimana
agar aman sampai tujuan.
Apalagi kalau perampok dituduh maling, copet.
Merasa direndahkan prestasi, kondite. Sudah jelas ahli mengeruk, mengeduk
kekayaan alam nusantara secara illegal namun dilakuikan secara kolektif
kolegial, merasa bersih diri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar