wajah hukum nusantara,
ramah investor vs ramah koruptor
Episode 2014-2019 penuh dengan banyolan konyol politik
klas jalanan. Lebih bagus ketimbang demokrasi jalanan. Saking lucunya,
sampai-sampai stok watak yang ada di dunia pewayangan, harus impor.
Program/kegiatan yang didominasi investasi asing,
penanaman modal asing, utang luar negeri atau sebutan lainnya, Indonesia hanya
terima jadi. Kondisi ekstrim, dan menjadi cirinya, yaitu mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan maupun bahan baku, SDM betul-betul serba asing. Indonesia hanya
menyediakan tempat dan dukungan politik (urus izin pamit TKA).
Munculnya program/kegiatan perlu dukungan diplomasi uang.
Diplomasi atau kesepakatan politis, tak akan berjalan tanpa dukungan asas
sama-sama diuntungkan. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan sepeser pun.
Tak kalah pentingnya kualifikasi tenaga kerja Indonesia
berbanding terbalik dengan minat
investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Meningkatnya investasi tak akan lepas dari realitas.
Bahwasanya posisi dan nilai tawar Indonesia dalam memanfaatkan investasi,
sebagai pihak yang seolah kalah perang. Ikatan perjanjian tertulis, menjadikan
Indonesia wajib mengikuti ketentuan yang diajukan investor. Termasuk sanksinya.
Cuplikan tembang lawas, dioplos, dikanibal, diadaptasi
dengan nafas mental kekinian. Muncul senandung metabolisme: “mbokdé mukiyo lakumu aaa
ngisingi-ngisingi . . . mbok aja . .
“.
Industri politik Nusantara tak sanggup memenuhi
kebutuhan, konsumsi dalam negeri per kapita manusia politik. Perut manusia
politik yang pelahap, penyantap segala. Multipartai dengan imbangan multiormas,
membengkakkan dalih impor. Dua arah saling menguntungkan. Mendatangkan guru
lebih murah ketimbang berguru sampai negeri tirai bambu.
Lawan politik lebih berbahaya daripada masa depan bangsa
dan negara. Anomaly malah terjadi. Yang mana dimana, mitra sekoalisi menjadi
seteru di ketiak. Kawanan loyalis mantan angkatan pakai jurus andalan “nila
setitik” mampu mentotok saraf penguasa.
Modal, model, modul presiden adalah petugas partai. Biaya
politik menjadi karakter kinerja bandar, badut, bandit politik. Kian merasa
bagian utama akar rumput, namanya juga propaganda, gandapura dan pura-pura
ganda.
Jangan lupa, biaya politik perpanjangan jabatan petugas
partai, memakai tarif pajak progresif.
Kepentingan partai politik bisa mengalahkan kebutuhan
rakyat di semua tingkatan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar