Halaman

Kamis, 16 Januari 2020

wajah hukum nusantara, ramah investor vs ramah koruptor

wajah hukum nusantara, ramah investor vs ramah koruptor

Episode 2014-2019 penuh dengan banyolan konyol politik klas jalanan. Lebih bagus ketimbang demokrasi jalanan. Saking lucunya, sampai-sampai stok watak yang ada di dunia pewayangan, harus impor.

Program/kegiatan yang didominasi investasi asing, penanaman modal asing, utang luar negeri atau sebutan lainnya, Indonesia hanya terima jadi. Kondisi ekstrim, dan menjadi cirinya, yaitu  mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun bahan baku, SDM betul-betul serba asing. Indonesia hanya menyediakan tempat dan dukungan politik (urus izin pamit TKA).

Munculnya program/kegiatan perlu dukungan diplomasi uang. Diplomasi atau kesepakatan politis, tak akan berjalan tanpa dukungan asas sama-sama diuntungkan. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan sepeser pun.

Tak kalah pentingnya kualifikasi tenaga kerja Indonesia berbanding terbalik dengan  minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

Meningkatnya investasi tak akan lepas dari realitas. Bahwasanya posisi dan nilai tawar Indonesia dalam memanfaatkan investasi, sebagai pihak yang seolah kalah perang. Ikatan perjanjian tertulis, menjadikan Indonesia wajib mengikuti ketentuan yang diajukan investor. Termasuk sanksinya.

Cuplikan tembang lawas, dioplos, dikanibal, diadaptasi dengan nafas mental kekinian. Muncul senandung metabolisme: “mbokdé mukiyo lakumu aaa ngisingi-ngisingi . . . mbok aja . .  “.

Industri politik Nusantara tak sanggup memenuhi kebutuhan, konsumsi dalam negeri per kapita manusia politik. Perut manusia politik yang pelahap, penyantap segala. Multipartai dengan imbangan multiormas, membengkakkan dalih impor. Dua arah saling menguntungkan. Mendatangkan guru lebih murah ketimbang berguru sampai negeri tirai bambu.

Lawan politik lebih berbahaya daripada masa depan bangsa dan negara. Anomaly malah terjadi. Yang mana dimana, mitra sekoalisi menjadi seteru di ketiak. Kawanan loyalis mantan angkatan pakai jurus andalan “nila setitik” mampu mentotok saraf penguasa.

Modal, model, modul presiden adalah petugas partai. Biaya politik menjadi karakter kinerja bandar, badut, bandit politik. Kian merasa bagian utama akar rumput, namanya juga propaganda, gandapura dan pura-pura ganda.

Jangan lupa, biaya politik perpanjangan jabatan petugas partai, memakai tarif pajak progresif.

Kepentingan partai politik bisa mengalahkan kebutuhan rakyat di semua tingkatan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar