Halaman

Jumat, 17 Januari 2020

menua bareng dan berkelanjutan

menua bareng dan berkelanjutan

Oktober 1997, menjadi Pesta Emas Pernikahan keduaorangtuaku. Sesama teman HIK dan sampai akhir hayat bertanah-air di kota Pelajar. Ayah, dengan S1-nya bahasa dan sastra timur UGM, mampu meraih gelar guru besar atau profesor.

Tahun 1998 setelah reformasi yang mulai dari puncaknya 21 Mei 1998, ayah sudah purna tugas sebagai hamba-Nya di muka bumi. Bumi sebagai tempat meninggal, bukan tempat tinggal. Memasuki tahap hidup abadi setelah wafat. Serangan stroke ketiga, pas saya bersiltarurahmi ke beliau. Hari pertama di RS Panti Rapih, pas depan rumah tinggal dinas Gol II, saya sempat menemani beliau.

8 Oktober 2004, di usia 84 tahun, ibuku menyusul ayah ke kampung akhirat. Ladang amal kami lanjutkan.  Warsian ilmu dan nama baik serta nazab orang awak. Makam keduaorangtuaku memang jodoh sehidup-semati, berdampingan di Jatimulyo, Yogyakarta. Tak jauh dari rumah tinggal.

6 Nopember 2019, seabad kelahiran ayah. Tanggal kelahiran diapit dua cucu kesayangan beliau. Cucu dari anak pertama dan cucu dari anak kedua. Saya sebagai bungsu atau anak ketiga. Aku sebagai bayi prematur, dalam kandungan 7 bulan. BB <2kg. Tak punya bakat gemuk, sampai sekarang.

Waktu balita, aku bilang ke ibu, nanti ibu bisa berumur 80 tahun lebih. Ibu paham : “Nganti tuwo banget . . .”, komennya. “Ibu engko yen arep sedo, ngabari yo . . . “. Ibu terdiam. Merasa nanti saya akan jauh dari rumah. Memang terbukti. Mas saya sebagi lanang mbarep, kebagian kawal bapak ibu.

Analog atau pasal lain. Saat mahgrib di masjid kompleks tempat tinggal. Usai azan, sholat qobliyah, mendoakan orangtua atau kakek-nenek cucuku. Pas doa khusus buat ibu mertua yang sedang inap rawat di RS Sardjito, Yogyakarta. Seperti ada bayangan gambar beliau. Latar belakang kuning perlahan redup, menghilang. Usai mahgrib, cek HP ada sms dari garwo yang sedang jaga ibunya. Ibu mertua menyusul ayah mertua yang wafat 1998.

Ibu sempat mengutarakan penerawangannya. Akan menemukan tiga kemuliaan. Saat itu tentu belum terjawab atau ada penjelasan resmi. Hal bisa >50 tahun lebih hidup sebagai pasutri. Ibu ditemani cucu yang jadi cucu kesayangan eyang kakungnya, bersilaturahmi ke Padang Panjang, prov Sumatera Barat. Pertama, ibu naik haji, walau bapak tak bisa temani. Diplesirkan ke beberapa negara di Eropa oleh bapakku. Kedua, ibu mampu mendorong bapak sampai bergelar guru besar. Ketiga, punya cucu kembar. Anak kedua dan ketigaku. Alumni IPB Bogor.

Kendati disiplin ilmuku adalah sarjana teknik arsitektur FT-UGM Yogyakarta. Saat menjadi ‘plat merah’ sampai sekarang bermodal warisan ilmu bahasa dan satra. Faktor ajar. [HaéN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar