Halaman

Senin, 27 Januari 2020

Prinsip Kontra Prinsip UUD NRI 1945


Prinsip Kontra Prinsip UUD NRI 1945

Terkadang, kalau tak ditulis secara formal, pihak pelaksana produk hukum suka-suka diri. Merasa hukum di tangan kanan. Tangan kiri sigap kalkulasi atau main tunjuk atau bahasa jari sarat makna.

Terkisahkan, pasca lengserkeprabon penguasa tunggal asas tunggal, geliat politik seolah kompak menghasilkan Perubahan Kedua hingga Perubahan Keempat. Kejadian peristiwa 1999-2002. Awak media massa berbayar maupun penggemar berita fasik, masih terkantuk-kantuk.

Tercatatlah, akhirnya tersurat tambahan tiga lema ‘prinsip’ pada:  
Pasal 18B ayat (2)
. .. . . . prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. **)

Pasal 28I ayat (5) . . .
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. **)

Pasal 33 ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip . . . ****)

**)       : Perubahan Kedua
****)    : Perubahan Keempat

 Teringat akan eksistensi, jati diri Pasal 33 begitu fenomenal. Sebagai bahan Lomba Cerdas Cermat Ceria antar sekolah menengah yang tayang di layar kaca. Stasiun TV swasta tak tertarik membuat episode semacam. Dianggap malah bisa menurunkan peringkat, derajat, martabat.

Perubahan Kedua, agar tidak merangsang gagal paham, salah paham atau bentuk frasa ‘tidak tahu tapi banyak memberi tahu’. Coba pemeriksa simak peraturan perundang-undangan dimaksud. Jangan sekali-sekali cari di undangan permikahan.

Mulai dari realita bahwasanya NKRI diposisikan masuk 4 Pilar berbangsa dan bernegara. Menjadi proyek nasional berkelanjutan MPR RI. Dipermanis dengan revolusi mental. Dipercantik dengan bela nusa. Dukungan UU sebagai kesepakatan DPR RI dengan Pemerintah pada periode ybs, bisa dan memang kondisional. Soal dalam perjalanan ada pihak merasa tidak nyaman, bisa kompromi dengan perpu.

Fakta kedua tentang betapa frasa ‘negara hukum yang demokrastis’. Naluri awam malah bikin tarik nafas. Makna ‘demokratis’ di nusantara, bak harga jual mobil bekas. Ada yang jatuh bebas. Malah ada yang melebih harga jual saat beli mobil gres. Mobil yang tanpa diduga merakyat atau banyak penggemar harga jual liar.

Apa lagi jika kata dasar demokratis adalah demokrasi. Tegaknya hukum berdasarkan pasal komersial. Bukan pada pasal berlapis yang disangkakan. Tapi lihat pihak mana atau siapa yang berperkara. Indikasi pada waktu terpakai untuk proses hukum. Belaku tarif progresif revolusioner. Bukan barter perkara.

HAM dengan batasan manusia yang bagaimana. Hirarki manusia Indonesia diperjelas dengan penjelasan SARA, baku tapi tidak baku. Minoritas tapi de facto plus de jure mendikte mayoritas ekonomi nusantara, apalagi sepak terjang manusia politik. Nasib mayoritas, rahasia umum yang tak perlu diumumkan.

Demokrasi ekonomi sudah banyak pasal atau pendapat ahli, dari A sampai Z. Semakin dikupas menjadi ajang adu kuat pihak yang berkepentingan. Posisi rakyat diendus, dilacak pada daya beli, daya belanja. Spekulan atau sebutan khas, khusus menjadi dinamika. Kekuatan pasar global menjadi aktor non-negara.

Selagi masih bisa pegang prinsip atau mau berprinsip apa lagi kawan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar