Prinsip Kontra Prinsip
UUD NRI 1945
Terkadang, kalau tak ditulis secara formal, pihak pelaksana produk hukum
suka-suka diri. Merasa hukum di tangan kanan. Tangan kiri sigap kalkulasi atau
main tunjuk atau bahasa jari sarat makna.
Terkisahkan, pasca lengserkeprabon penguasa tunggal asas
tunggal, geliat politik seolah kompak menghasilkan Perubahan Kedua hingga
Perubahan Keempat. Kejadian peristiwa 1999-2002. Awak media massa berbayar
maupun penggemar berita fasik, masih terkantuk-kantuk.
Tercatatlah, akhirnya tersurat tambahan tiga lema ‘prinsip’ pada:
Pasal 18B ayat (2)
. . . prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. **)
Pasal 28I ayat (5) . . .
prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. **)
Pasal 33 ayat (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip . . . ****)
**) : Perubahan Kedua
****) : Perubahan Keempat
Teringat akan eksistensi, jati diri
Pasal 33 begitu fenomenal. Sebagai bahan Lomba Cerdas Cermat Ceria antar
sekolah menengah yang tayang di layar kaca. Stasiun TV swasta tak tertarik
membuat episode semacam. Dianggap malah bisa menurunkan peringkat, derajat,
martabat.
Perubahan Kedua, agar tidak merangsang gagal paham, salah paham atau bentuk
frasa ‘tidak tahu tapi banyak memberi tahu’. Coba pemeriksa simak peraturan
perundang-undangan dimaksud. Jangan sekali-sekali cari di undangan permikahan.
Mulai dari realita bahwasanya NKRI diposisikan masuk 4 Pilar berbangsa dan
bernegara. Menjadi proyek nasional berkelanjutan MPR RI. Dipermanis dengan
revolusi mental. Dipercantik dengan bela nusa. Dukungan UU sebagai kesepakatan
DPR RI dengan Pemerintah pada periode ybs, bisa dan memang kondisional. Soal dalam
perjalanan ada pihak merasa tidak nyaman, bisa kompromi dengan perpu.
Fakta kedua tentang betapa frasa ‘negara hukum yang demokrastis’. Naluri awam
malah bikin tarik nafas. Makna ‘demokratis’ di nusantara, bak harga jual mobil
bekas. Ada yang jatuh bebas. Malah ada yang melebih harga jual saat beli mobil
gres. Mobil yang tanpa diduga merakyat atau banyak penggemar harga jual liar.
Apa lagi jika kata dasar demokratis adalah demokrasi. Tegaknya hukum
berdasarkan pasal komersial. Bukan pada pasal berlapis yang disangkakan. Tapi lihat
pihak mana atau siapa yang berperkara. Indikasi pada waktu terpakai untuk
proses hukum. Belaku tarif progresif revolusioner. Bukan barter perkara.
HAM dengan batasan manusia yang bagaimana. Hirarki manusia Indonesia
diperjelas dengan penjelasan SARA, baku tapi tidak baku. Minoritas tapi de
facto plus de jure mendikte mayoritas ekonomi nusantara, apalagi
sepak terjang manusia politik. Nasib mayoritas, rahasia umum yang tak perlu
diumumkan.
Demokrasi ekonomi sudah banyak pasal atau pendapat ahli, dari A sampai Z. Semakin dikupas menjadi ajang adu kuat pihak yang berkepentingan. Posisi rakyat
diendus, dilacak pada daya beli, daya belanja. Spekulan atau sebutan khas,
khusus menjadi dinamika. Kekuatan pasar global menjadi aktor non-negara.
Selagi masih bisa pegang prinsip atau mau berprinsip apa lagi kawan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar