klobotisme Islam
nusantara, glinak-glinuk vs nunak-nunuk
Tak perlu repot bin perot, mengapa cuma kulit jagung yang
masuk bursa bahasa dan gaul nusa. Rambut jagung mungkin ada sebutan lain sesuai
jenis atau lokasi. Frasa “seumur jagung” menjadi inti ramalan politik saat itu akan
adanya penjajahan bangsa Jepang.
Tak perlu heran, gumun, kagum maupun terkaget-kaget. Fakta
jalanan tanpa angka statistik. Otomotif ‘saudara tua’ merajai jalan tol sampai
gang senggol. Salah kunyah peradaban, gaya hidup, gengsi, gaul memacu adrenalin
industri mobil dan motor Jepang yang sekali pakai. Usia teknis “seumur jagung”.
Model klasik sampai model futuristik ditampilkan. Diilhami
seni lipat origami maupun rangkaian bunga ikebana. Pabriknya sudah bubar, namun
mobilnya masih eksis di nusantara. Pabrik lokal mampu menghadirkan motor lama
yang melegenda.
Klobot diproses secara bahasa. Kata lainnya sesuai
peruntukan. Dibilang sarung jagung, selimut jagung atau malah baku di kamus. Falsafah
ilmu padi tak berlaku pada jagung. Mana yang lebih awal dengan ilmu kondom. Semakin
berisi kian tegak.
Biji, butir jagung di tangan ahli pemanja perut. Mampu mendongkrak
sang peracik aneka sajian kuliner. Jagung bakar klas pinggir jalan sampai
adonan kue berbahan baku tepung jagung tersaji di hotel bintang. Jagung rebus,
kacang rebus, ubi rebus, ketela rebus menjadi santapan ringan tradisional. Tapi
mengenyangkan plus menyenangkan. Beda dengan label popcorn, baby corn.
Bagaimana nasib induk judul di kanan. Seperti dipertentangkan,
walau sama karakter wong Jawa. Jangan dikaitkan dengan “Islam sarungan” dan
atau plus pakai baju bah koko. Ke masid terdekat atau masjid lingkungan tempat
tinggal, naik motor sarungan. Tutup kepala hasil rajutan emak-emak atau industri
rumah tangga. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar