Halaman

Jumat, 17 Januari 2020

klobotisme Islam nusantara, glinak-glinuk vs nunak-nunuk


klobotisme Islam nusantara, glinak-glinuk vs nunak-nunuk

Tak perlu repot bin perot, mengapa cuma kulit jagung yang masuk bursa bahasa dan gaul nusa. Rambut jagung mungkin ada sebutan lain sesuai jenis atau lokasi. Frasa “seumur jagung” menjadi inti ramalan politik saat itu akan adanya penjajahan bangsa Jepang.

Tak perlu heran, gumun, kagum maupun terkaget-kaget. Fakta jalanan tanpa angka statistik. Otomotif ‘saudara tua’ merajai jalan tol sampai gang senggol. Salah kunyah peradaban, gaya hidup, gengsi, gaul memacu adrenalin industri mobil dan motor Jepang yang sekali pakai. Usia teknis “seumur jagung”.

Model klasik sampai model futuristik ditampilkan. Diilhami seni lipat origami maupun rangkaian bunga ikebana. Pabriknya sudah bubar, namun mobilnya masih eksis di nusantara. Pabrik lokal mampu menghadirkan motor lama yang melegenda.

Klobot diproses secara bahasa. Kata lainnya sesuai peruntukan. Dibilang sarung jagung, selimut jagung atau malah baku di kamus. Falsafah ilmu padi tak berlaku pada jagung. Mana yang lebih awal dengan ilmu kondom. Semakin berisi kian tegak.

Biji, butir jagung di tangan ahli pemanja perut. Mampu mendongkrak sang peracik aneka sajian kuliner. Jagung bakar klas pinggir jalan sampai adonan kue berbahan baku tepung jagung tersaji di hotel bintang. Jagung rebus, kacang rebus, ubi rebus, ketela rebus menjadi santapan ringan tradisional. Tapi mengenyangkan plus menyenangkan. Beda dengan label popcorn, baby corn.

Bagaimana nasib induk judul di kanan. Seperti dipertentangkan, walau sama karakter wong Jawa. Jangan dikaitkan dengan “Islam sarungan” dan atau plus pakai baju bah koko. Ke masid terdekat atau masjid lingkungan tempat tinggal, naik motor sarungan. Tutup kepala hasil rajutan emak-emak atau industri rumah tangga. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar