Halaman

Minggu, 19 Januari 2020

bencana alam serentak vs episode tragedi politik


bencana alam serentak vs episode tragedi politik

Bahasa manusia bersebut ‘bencana alam’. Manusia religi merasakan sebagai ujian, peringatan atau peluang mawas diri, kesempatan koreksi diri total. Bahasa alam membuktikan sifat serakah anak cucu nabi Adam a.s berdampak, berbalas langsung di tempat kejadian perkara. Tak pakai lama.

Pihak yang tak tahu ada laku manusia merubah komposisi alam demi dan sedemikian formal. Ambil sikap tutup mata atau matanya ada yang menutupi. ‘Pagar makan tanaman’ hanya kejadian kecil, harian, biasa, lumrah. Sikat bersih, sapu habis pihak yang beda pilihan atau jelas-jelas sebagai lawan politik.

Soal kursi, tak ada kata teman. Teman sama-sama berjuang belum tentu sama-sama berkursi.

Karhutla bukan bencana alam. Hanya akibat kesalahan administrasi, salah prosedur. Tak ada kaitan yuridis, ikatan moral dengan ramah investor. Bencana alam lokal, skala dapil, menjadi bukti pengorbanan.

Semakin berjubel, berlapis, bertingkat manusia pilihan. Terpilih menjadi wakil rakyat, wakil daerah, kepala desa, kepala daerah, kepala negara  jika ‘terpaksa unjuk gigi’. Alam akan meladeni dengan asas setara, seimbang. Semakin banyak kursi di satu kendali berbanding lurus dengan reaksi alam. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar