adab persatuan Indonesia
vs Indonesia satu
Agar bebas anggapan bebas, bebas
dari anggapan tendensius, maka oleh karena itu lebih baik mengacu pada sila
ketiga Pancasila: “ Persatuan Indonesia”. Juga tidak. Malah sebaliknya.
Pancasila Sakti peninggalan rezim militer-politik Orde Baru, beralih ke rezim
politik ‘petugas partai’, pamor aroma irama politik nasakomisme warisan BK
lebih kinclong.
Tak perlu heran binti gumun. Ambisi
kawanan politisi sipil sekaliber petugas partai tahu apa itu nikmat kursi, nikmat
dunia. Pakai semboyan apapun, ujung-ujungnya biaya politik, konspirasi politik
global. Bedanya dengan negara maju sangat terasa. Bukti nyata nusantara mampu
mempertahankan diri plus menjaga posisi
sebagai negara berkembang secara mandiri. Berkembang setapak demi setapak.
Ada eloknya, simak tayangan “praktik
demokrasi negara multipartai vs penguasa di bawah satu kendali”. Atau bahasan
berbasis praktik demokrasi nusantara. Parpol dibentuk khusus ikut pemilu dan
dapat kursi sudah tahu diri. Tahu harga sebuah kursi. Perjuangan ideologi hanya
slogan pepesan kosong.
Anak bangsa pribumi nusantara
penyandang gelar akademis yang mengambil judul Pancasila. Melihat fakta
lapangan, lebih baik ambil sikap diam. Menyuarakan perwujudan praktik bermasyarakat berdasarkan
butir-butir Pancasila. Bisa-bisa malah bisa dianggap melawan penguasa.
Adalah Tap MPR nomor nomor
I/MPR/2003 yang mana dimana menjelaskan butiran dimaksud. Terteralah, tersuratlah
frasa “memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa” sebagai salah satu butir narasi
sila ketiga.
Daya gaul anak bangsa, didominasi
melek TIK. Menjadi peolok-olok politik, pengganda ujaran nista, penabur dan penebar fitnah dunia, penggembala
rangkap jabatan pengadu domba serta ahli yang tak ada duanya.
Pemanasan terkait narasi, disebutkan
dengan gaya bahasa bahwa untuk menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan serta maupun stabilitas
sebuah negara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar