Sifat Gas Ringan, Tapi Tidak Untuk
Meringankan Beban Rakyat
Dari
minyak tanah berlaih ke gas. Tentu ada kebijakan berdasarkan kajian yang secara
politis masuk kategori pro-rakyat, pro-poor. Terbukti di lapangan, beredar
resmi LPG melon khusus orang miskin. Ukuran tabung praktis bagi tukang nasi
goreng maupun penjual gorengan.
Proses
bahan baku sampai menjadi ‘gas’ Pertamina
– tak mau tahu, produk sampingan atau produk utama – sama rumit, berbelit nya
dengan proses penetapan harga jual. Lagi-lagi kebijakan. Kali ini tentang pasal
subsidi. Secara awam, kuping rakyat sudah familier dengan istilah subsidi
silang.
Wajar
jika berlaku hukum ekonomi. Semakin banyak animo, pembeli, pengguna, pelanggan
akan berbanding lurus dengan pertambahan nilai jual. Mirip harga tiket pesawat
terbang. Kian banyak orang ingin diterbangkan, otomatis harga ikut tinggal
landas, terbang.
Rakyat
tertempa dengan kebijakan satu barang satu harga, contoh utama pada BBM. Penentu
ongkos transport angkutan umum. Tertolong dengan moda angkutan dalam jaringan. Tidak
sekedar batasan jauh-dekat. Bisa sesuai asas jemput-antar sampai tujuan.
Era globalisasi menjadi dalih resmi pemerintah
dalam menetapkan harga eceran tertinggi LPG. Model perbandingan harga dengan
negara sesama ASEAN. Lupa kalau status statis NKRI sebagai negara berkembang. Pemerintah
pakai pasal pendekatan ekonomi, bukan pendekatan sosial.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar