suka-sukanya Islam
nusantara, terjebak main politik kepentingan berlapis
Padahal, kepentingan berbanding terbalik dengan kebenaran. Saking banyaknya
fakta, kalau diambil sampel, bisa-bisa bisa masuk kategori kejahatan tak
bersenjata.
Frasa “mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan” maupun frasa “mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan” merupakan cuplikan isi sumpah/janji penyelenggara negara hasil pemiliham
umum legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD).
Kepentingan kelompok dan atau kepentingan golongan tersurat di atas, termasuk
kepentingan partai politik, daerah, suku, agama, dan ras.
Partai politik Islam, organisasi kemasyarakatan Islam atau yang berlabel
Islam. Tahun poltik 2019 menyisakan gaya heroisme religi karena berorientasi
pada nikmat dunia. Dalih memperjuangkan agama liwat kekuasaan formal, kekuataan
konstitusional (ingat model top-down Islam politik di era rezim asas
tunggal Orde Baru). Cuma jadi tukang parkir, kurang menggigit. Bahkan sanggup
bangun infrastruktur ke surga.
Geliat umat Islam untuk selalu menjadi manusia merdeka. Terpaksa kalah
pamor dengan gerakan aksi nyata, radikal maupun operasi senyap manusia politik.
Jangan lupa dengan pasal mengelola sampah politik menjadi sumber energi.
Dicampur bahan baku mancanegara bisa menjadi sumber inspirasi. Tidak harus
mengandalkan kandungan lokal. Namanya politik, harus go international, go
public.
Agar tak dijangkiti penyakit mudah gagal diri, ayo simak UU RI nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Tersurat frasa Konflik Kepentingan sebagai penambah wawasan diri.
Bunyinya, dinarasikan sedemikiannya secara bahasa hukum.
Uji coba, fokus Pasal 1 Ayat 14:
14.
Konflik Kepentingan adalah kondisi
Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri
sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat
mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat
dan/atau dilakukannya.
Kejadian nyata di panggung politik Nusantara yang sarat syahwat. Olok-olok
politik menjadi bagian heroik menistakan diri secara masif, jujur, menerus.
Menjadi bagian integral mencampakkan martabat diri secara terang-terangan. [HaƩN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar