silih berganti dari
pasal tak terduga
Dasar negara yang Pancasila, dianggap kurang konstitusional. Olahan
'Pancasila Sakti' warisan Orde Baru, langsung jatuh harga di era pasca
reformasi. Namanya politik. Daur ulang paham 'nasakom' oleh anak cucu
ideologis. Parpol dadakan mewarnai pelangi multipartai.
Aneka tragedi politik dalam hitungan bulanan, atau bahkan mingguan. Berlomba
saling menyalip adu nyali. Saling libas demi pemuliaan politik abal-abal.Tukar
peran bak kutu loncat menjadi menu pelipur lara, penyeimbang rasa jenuh. Tinggal
doa rakyat yang tersisa.
Penalaran sekaligus penularan aroma irama politik lokal sedemikiannya. Tak ada
kata lain. Toleransi berkemajemukan menjadikan kaum perempuan dapat berpolitik
tinggal pakai. Modal keringat dan nama luhur leluhurnya. Terlebih pada partai
politik industri keluarga. Tinggal pilih jurusan yang diminati. Semua bisa diatur,
kata pariwara.
Representasi politik perempuan pada praktik demokrasi nusantara, sudah pada
tahap demokrasi ramah koruptor, ramah investor. Asing memahami bahwa pendekatan
ke kaum hawa lebih mujarab. Ingat penguasa tunggal Orde Baru selama lebih dari
tiga dasawarsa. Cuma karena ada wanita hebat di balik punggung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar