Halaman

Kamis, 23 Januari 2020

silih berganti dari pasal tak terduga

silih berganti dari pasal tak terduga

Dasar negara yang Pancasila, dianggap kurang konstitusional. Olahan 'Pancasila Sakti' warisan Orde Baru, langsung jatuh harga di era pasca reformasi. Namanya politik. Daur ulang paham 'nasakom' oleh anak cucu ideologis. Parpol dadakan mewarnai pelangi multipartai.

Aneka tragedi politik dalam hitungan bulanan, atau bahkan mingguan. Berlomba saling menyalip adu nyali. Saling libas demi pemuliaan politik abal-abal.Tukar peran bak kutu loncat menjadi menu pelipur lara, penyeimbang rasa jenuh. Tinggal doa rakyat  yang tersisa.

Penalaran sekaligus penularan aroma irama politik lokal sedemikiannya. Tak ada kata lain. Toleransi berkemajemukan menjadikan kaum perempuan dapat berpolitik tinggal pakai. Modal keringat dan nama luhur leluhurnya. Terlebih pada partai politik industri keluarga. Tinggal pilih jurusan yang diminati. Semua bisa diatur, kata pariwara.

Representasi politik perempuan pada praktik demokrasi nusantara, sudah pada tahap demokrasi ramah koruptor, ramah investor. Asing memahami bahwa pendekatan ke kaum hawa lebih mujarab. Ingat penguasa tunggal Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa. Cuma karena ada wanita hebat di balik punggung. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar