asu gedhé menang kerahé, kejahatan kerah putih vs kejahatan kerah biru
Krismon 1997-1998 menjadi akumulasi
penerapan sistem ekonomi rente. Selaku kejahatan kerah putih gemilang
memiskinkan ratusan juta masyarakat Indonesia. Ekonomi rente memacu memicu
sebar tebar benih perpecahan atau disintegrasi melalui kekuatan, kekuasaan uang.
Terasa asing di kuping awam karena
memang aselinya berwujud white-collar crimes. Pelaku tindak kejahatan
kerah putih, jelas punya “ilmu segala ilmu”. Bahkan ngelakoni poso mutih, tapa
kungkum ning lèpèn agar kebal hukum. Kandidat dengan beban modal pemilu,
termasuk pihak yang dimaksud.
Istilah kejahatan kerah putih
dikemukakan pertama kali oleh seorang kriminolog asal Amerika Serikat bernama
Edwin H. Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikan White Collar
Crime sebagai "a crime
committed by a person of respectability and high social status in the course of
their occupation." Sutherland berpendapat bahwa kejahatan kerah
putih merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang sangat terhormat dan berstatus sosial tinggi di dalam pekerjaannya.
Tindakan kejahatan ini dapat terjadi
di dalam perusahaan, kalangan professional, perdagangan, maupun kehidupan
politik.
White
Collar Crime dalam aspek
tipologis berbeda dari Blue Collar Crime. Biasanya istilah White Collar Crime ditujukan bagi aparat dan petinggi
negara sedangkan Blue Collar Crime dipakai untuk menyebut
kejahatan-kejahatan yang terjadi di kelas sosial bawah dengan kualitas dan
kuantitas yang lebih rendah dari kejahatan yang dihasilkan oleh White Collar
Criminal.
Kejahatan kerah putih secara umum
mengacu pada kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan
oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah. Kasus-kasus
kejahatan kerah putih sulit dilacak karena biasanya dilakukan pejabat yang
mempunyai kekuasaan, memiliki kuasa untuk memproduksi hukum dan berperan dalam
membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih (White Collar Crime)
juga sangat sulit tersentuh oleh hukum karena terjadi dalam suatu lingkungan
yang tertutup.
(alinea 3 s,d 5 cuplikan dari
https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html)
Tak salah jika gubernur dan wakil
rakyat provinsi, bersifat mengambang. Karena rakyat sudah diwakili oleh wakil
rakyat kabupaten/kota. Untuk semua urusan. Gubernur sebagai perpanjangan tangan
pemerintah. Sebagai jubir atau tukang halo-halo atau sebagai perantara utama
usulan, aspirasi daerah.
Ironis binti
miris, kepala daerah lebih patuh, taat, loyal tanpa reserve, tanpa pikir
panjang kepada kebijakan partai. Semakion banyak
parpol yang punya kursi di Senayan, maka dipastikan atau layak dipastikan akan
ada adu kuat. Ujung-ujungnya, rakyat yang jadi korban. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar