Halaman

Minggu, 20 Agustus 2023

asu gedhé menang kerahé, kejahatan kerah putih vs kejahatan kerah biru

asu gedhé menang kerahé, kejahatan kerah putih vs kejahatan kerah biru

Krismon 1997-1998 menjadi akumulasi penerapan sistem ekonomi rente. Selaku kejahatan kerah putih gemilang memiskinkan ratusan juta masyarakat Indonesia. Ekonomi rente memacu memicu sebar tebar benih perpecahan atau disintegrasi melalui kekuatan, kekuasaan uang.

Terasa asing di kuping awam karena memang aselinya berwujud white-collar crimes. Pelaku tindak kejahatan kerah putih, jelas punya “ilmu segala ilmu”. Bahkan ngelakoni poso mutih, tapa kungkum ning lèpèn agar kebal hukum. Kandidat dengan beban modal pemilu, termasuk pihak yang dimaksud.

Istilah kejahatan kerah putih dikemukakan pertama kali oleh seorang kriminolog asal Amerika Serikat bernama Edwin H. Sutherland pada tahun 1939. Sutherland mendefinisikan White Collar Crime sebagai "a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of their occupation." Sutherland berpendapat bahwa kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang sangat terhormat dan berstatus sosial tinggi di dalam pekerjaannya. Tindakan kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan professional, perdagangan, maupun kehidupan politik.

White Collar Crime dalam aspek tipologis berbeda dari Blue Collar Crime. Biasanya istilah White Collar Crime ditujukan bagi aparat dan petinggi negara sedangkan Blue Collar Crime dipakai untuk menyebut kejahatan-kejahatan yang terjadi di kelas sosial bawah dengan kualitas dan kuantitas yang lebih rendah dari kejahatan yang dihasilkan oleh White Collar Criminal.

Kejahatan kerah putih secara umum mengacu pada kejahatan yang dimotivasi secara finansial dan biasanya dilakukan oleh para profesional dalam bidang bisnis dan aparat pemerintah. Kasus-kasus kejahatan kerah putih sulit dilacak karena biasanya dilakukan pejabat yang mempunyai kekuasaan, memiliki kuasa untuk memproduksi hukum dan berperan dalam membuat berbagai keputusan vital. Kejahatan kerah putih (White Collar Crime) juga sangat sulit tersentuh oleh hukum karena terjadi dalam suatu lingkungan yang tertutup.

(alinea 3 s,d 5 cuplikan  dari https://www.ppatk.go.id/siaran_pers/read/970/keberadaan-kerah-putih-dibalik-kasus-pencucian-uang.html)

Tak salah jika gubernur dan wakil rakyat provinsi, bersifat mengambang. Karena rakyat sudah diwakili oleh wakil rakyat kabupaten/kota. Untuk semua urusan. Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sebagai jubir atau tukang halo-halo atau sebagai perantara utama usulan, aspirasi daerah.

Ironis binti miris, kepala daerah lebih patuh, taat, loyal tanpa reserve, tanpa pikir panjang kepada kebijakan partai. Semakion banyak parpol yang punya kursi di Senayan, maka dipastikan atau layak dipastikan akan ada adu kuat. Ujung-ujungnya, rakyat yang jadi korban. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar