khianat hal biasa vs pro-rakyat kalau ingat
UUD NRI 1945 berkat perubahan ketiga (2001), mengenal mengkhianati (1x cantum) serta pengkhianatan (3x disebut). Beda peruntukkan, “mengkhianati” diterapkan bagi Calon Presiden dan calon Wakil Presiden. “pengkhianatan” ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal berapa yang menunjukkan ikhwal dimaksud. Simak mandiri.
Rakyat berkebebasan menentukan nasib sendiri. Pemerintah, penyelenggara negara sebatas susun kebijakan publik. Makanya, demokrasi dengan bukti aktual, faktual terwujud hanya pesta demokrasi. Artinya, begitu pesta rakyat selesai dalam sehari. Maka sisa waktu menjadi hak milik oknum partai politik yang terpilih.
Agar uang Rp nasional bunyi nyaring untuk mendukung pembangunn nasional sampai bangun desa, maka daripada itu perlu mitra-Rp. Sebagai pelengkap tapi porsi bisa lebih kuat, lebih besar. Kebutuhan dasar bangsa menjadi asumsi penganggaran nasional. Akumulasi kebutuhan penduduk segala ukuran perut menjadi bahan pertimbangan. Padahal pertimbangan utama adalah kebutuhan kursi bagi peserta pesta demokrasi.
Sejarah bergulir selaju pergantian
waktu. Jalan pintas masih menjadi andalan, pilihan utama manusia politik
nusantara. Modal tak percaya pada diri sendiri. Model low politics
sebagai nilai jual berhiba-hiba. Bukan satria piningit yang merasa mendapat
wahyu. Bukan cikal bakal satria pinunjul turun gunung cari panggung. Tapi sifat
kestarianya melorot demi tujuan berpolitik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar