Umat Islam Salah Pilih Sejarah
Masa Depannya
Saat mendengarkan siraman rohani
bakda sholat Dzuhur berjamaah di masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, Senin 21 Juli 2014, salah satu fokus ceramah disampaikan berulang,
menjadi renungan tersendiri.
Karena ceramah langsung
disampaikan usai sholat selesai, walau diawali dengan pengumuman dari pengurus
masjid, tak urung jamaah kurang konsentrasi untuk menyimak, sibuk untuk dzikir
dan berdoa.
Sang penceramah yang bertitel S3
dan dosen PTAI di Jakarta (maaf, penulis tidak ingat namanya) mengulang
pengalamannya. Acara regional tentang Islam di Jakarta. 3 guru besar dari
negera tetangga (Malaysia, Singapura dan Brunei) yang menginap di hotel, yang
menyaksikan tayangan dakwah di saluran televisi Indonesia, mengajukan
pertanyaan sekaligus pernyataan yang sama, yaitu :
“Dakwah di tv anda, 90% disampaikan
dalam bentuk laugh (bhs Jawa artinya dagelan, jelas penceramah) dan
sisanya 10% substansi itupun masih dipertanyakan. Apakah pendakwah tidak
mengalami seleksi oleh majelis ulama di negara
anda? Apakah pendakwah tidak memiliki sertifikat ustadz?”
Tanya jawab yan g terjadi, kita
sudah bisa menduga. Kita memang sedang diuji lahir batin, karena tayangan
acara, adegan dan atraksi selama bulan Ramadhan di media penyiaran televisi
yang berbasis Islam dikemas sesuai selera pengusaha/pemilik stasiun tv.
Ustadz yang tampil sudah
“diseleksi” sesuai prosedur di stasiun tv ybs, kriteria pertama dan utama
adalah kemampuan menaikkan peringkat alias mempunyai nilai komersial. Kalau
perlu pelawak diberi busana ustadz, agar tampak afdol dan meyakinkan.
Umat Islam sejauh ini memang
terbiasa atau menganggap bahwa dakwah adalah kewajiban ustadz, dilakukan di
masjid, lebih banyak dilakukan searah. Jamaah hanya duduk manis sebagai
pendengar.
Atau lebih runyam, pendidikan
agama Islam sebagai kewajiban pemerintah, sebagai mata pelajaran maupun mata
kuliah di bangku pendidikan formal. Kalau ingin mendalami agama Islam, masuk
pondok pesanren, masuk PTAI. Pemerintah lebih fokus pada pendidikan umum, bukan
pendidikan keagamaan.
Umat Islam tidak bisa
mengandalkan dukungan program/kegiatan pendidikan agama Islam dari pemerintah. Di
pihak lain, umat Islam jangan beharap banyak pada kiprah dan kinerja organisasi
kemasyarakatan Islam, walau secara formal fokus pada dunia pendidikan dan dunia
kesehatan, karena dalam prakteknya lebih gemar terjun ke dunia politik
transaksional.
Jika kondisi faktual dan aktual
ini dibiarkan berlanjut, di mana media penyiaran televisi melihat dakwah
sebagai segmen komersial dan organisasi kemasyarakatan Islam atau bahkan partai
politik Islam mengolah dakwah secara politis, sejarah masa depan Islam sudah
terbaca [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar