Halaman

Senin, 20 Juli 2015

Umat Islam Salah Pilih Sejarah Masa Depannya

Umat Islam Salah Pilih Sejarah Masa Depannya


Saat mendengarkan siraman rohani bakda sholat Dzuhur berjamaah di masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin 21 Juli 2014, salah satu fokus ceramah disampaikan berulang, menjadi renungan tersendiri.

Karena ceramah langsung disampaikan usai sholat selesai, walau diawali dengan pengumuman dari pengurus masjid, tak urung jamaah kurang konsentrasi untuk menyimak, sibuk untuk dzikir dan berdoa.

Sang penceramah yang bertitel S3 dan dosen PTAI di Jakarta (maaf, penulis tidak ingat namanya) mengulang pengalamannya. Acara regional tentang Islam di Jakarta. 3 guru besar dari negera tetangga (Malaysia, Singapura dan Brunei) yang menginap di hotel, yang menyaksikan tayangan dakwah di saluran televisi Indonesia, mengajukan pertanyaan sekaligus pernyataan yang sama, yaitu :

“Dakwah di tv anda, 90% disampaikan dalam bentuk laugh (bhs Jawa artinya dagelan, jelas penceramah) dan sisanya 10% substansi itupun masih dipertanyakan. Apakah pendakwah tidak mengalami seleksi oleh majelis ulama di negara  anda? Apakah pendakwah tidak memiliki sertifikat ustadz?”

Tanya jawab yan g terjadi, kita sudah bisa menduga. Kita memang sedang diuji lahir batin, karena tayangan acara, adegan dan atraksi selama bulan Ramadhan di media penyiaran televisi yang berbasis Islam dikemas sesuai selera pengusaha/pemilik stasiun tv.

Ustadz yang tampil sudah “diseleksi” sesuai prosedur di stasiun tv ybs, kriteria pertama dan utama adalah kemampuan menaikkan peringkat alias mempunyai nilai komersial. Kalau perlu pelawak diberi busana ustadz, agar tampak afdol dan meyakinkan.

Umat Islam sejauh ini memang terbiasa atau menganggap bahwa dakwah adalah kewajiban ustadz, dilakukan di masjid, lebih banyak dilakukan searah. Jamaah hanya duduk manis sebagai pendengar.

Atau lebih runyam, pendidikan agama Islam sebagai kewajiban pemerintah, sebagai mata pelajaran maupun mata kuliah di bangku pendidikan formal. Kalau ingin mendalami agama Islam, masuk pondok pesanren, masuk PTAI. Pemerintah lebih fokus pada pendidikan umum, bukan pendidikan keagamaan.

Umat Islam tidak bisa mengandalkan dukungan program/kegiatan pendidikan agama Islam dari pemerintah. Di pihak lain, umat Islam jangan beharap banyak pada kiprah dan kinerja organisasi kemasyarakatan Islam, walau secara formal fokus pada dunia pendidikan dan dunia kesehatan, karena dalam prakteknya lebih gemar terjun ke dunia politik transaksional.

Jika kondisi faktual dan aktual ini dibiarkan berlanjut, di mana media penyiaran televisi melihat dakwah sebagai segmen komersial dan organisasi kemasyarakatan Islam atau bahkan partai politik Islam mengolah dakwah secara politis, sejarah masa depan Islam sudah terbaca [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar