mental negarawan Nusantara, Jer Basuki Mawa Beya
UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Pasal 1 angka 1 menyuratkan :
“Penyelenggara Negara adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif,
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
UU
14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 1 angka 8 menyatakan :
“Pejabat Publik adalah orang
yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu
pada badan publik.”
Yang dimaksud ‘badan publik’ sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU 14/2008 :
“Badan Publik adalah
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar
negeri.”
UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban, penjelasan atas Pasal 42 menjelaskan bahwa :
Yang dimaksud dengan
"pejabat publik" adalah
pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sejauh, selama, sedari, sejak kita mendengar
kata keren yang dikoarkan media massa yaitu ‘penyelenggara negara’, ‘pejabat
publik’ atau istilah lain tentang profesi, status, mata pencaharian, jabatan
mengurus negara. Kedua sebutan tadi bisa bersifat sakral, strata dewa, kasta
darah biru terkini, sarat wibawa, prestisius, menjanjikan atau sebaliknya, bisa
bisa-bisa masuk kategori keranjang sampah.
Ikhwal terkait dua sebutan tadi, memang
sebagai mata pelajaran anak bangsa yang sedang makan bangku sekolah. Mengacu 3
(tiga) UU di atas, kita tidak perlu mempersoalkan siapa dan mengapa ada definsi
resmi yang simpang siur, tumpang tindih, serta multitafsir atau bahkan dapat
diperdebatkan. Dampak dan akibat historis yuridisnya kita rasakan sampai
sekarang. Si pengurus negara dengan sistem kontrak politik lima tahunan, sangat
menentukan masa depan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.
Singkat kata, ketika kawanan parpolis
menyangka, mengira dan menduga bahwa status ‘penyelenggara negara’ maupun ‘pejabat
publik’ bisa diraih dengan kendaraan politik. Berbasis masuk jajaran, barisan
kader parpol bisa ikut aktif di pesta demokrasi, pemilu legislatif dan
pilkara, serta di provinsi dan kabupaten/kota melalui ritual pilkada. Tak perlu
merintis karir dari bawah, yang biasa dilakukan PNS yang sekarang disebut ASN. ‘Penyelenggara
negara’ maupun ‘pejabat publik’ sebagai jabatan politik.
Parpol menjadi papan pelontar untuk bisa
duduk manis sebagai wakil rakyat, kepala daerah maupu kepala negara.
Jer Basuki Mawa Beya mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan
diperlukan pengorbanan. Pengorbanan atau beya di sini dalam arti luas, yang meliputi
pengorbanan biaya dan pengorbanan lain, baik materiil maupun non materiil. ‘Pengorbanan biaya’ yang
mendasari marak, merebak dan suburnya politik transaksional, ideologi Rp, jual
beli kursi, koalisi, politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas
dendam. Termasuk mengadop faham ‘no free lunch’.
Bahkan untuk bisa dicalonkan oleh parpol, sebagai
bakal calon legislatif, ikut pilkada, apalagi pilkara, tentu tidak gratis.
Otoritas tunggal parpol ada digenggaman bandar politik. Kadar kualitas calon tidak
diukur secara formal, tetapi lebih ditentukan faktor kekerabatan, kedekatan, minimal bisa ‘menguntungkan perusahaan’. Soal
pernah berjasa bisa dikesampingkan hidup-hidup.
Kalkulasi politik tak
beda jauh dengan kalkulasi rupiah. Semakin melangkah, semakin argo bertambah,
semakin saldo bertambah. Kontrak politik lima tahunan, semakin melegalkan modus
operandi kalau bisa dikuras tuntas, kenapa harus cuma seutas demi seutas. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar