Halaman

Selasa, 28 Juli 2015

mental negarawan Nusantara, Jer Basuki Mawa Beya

mental negarawan Nusantara, Jer Basuki Mawa Beya


UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Pasal 1 angka 1 menyuratkan :
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 1 angka 8 menyatakan :
Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik.”

 Yang dimaksud ‘badan publik’ sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU 14/2008 :
Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”

UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, penjelasan atas Pasal 42 menjelaskan bahwa :
Yang dimaksud dengan "pejabat publik" adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejauh, selama, sedari, sejak kita mendengar kata keren yang dikoarkan media massa yaitu ‘penyelenggara negara’, ‘pejabat publik’ atau istilah lain tentang profesi, status, mata pencaharian, jabatan mengurus negara. Kedua sebutan tadi bisa bersifat sakral, strata dewa, kasta darah biru terkini, sarat wibawa, prestisius, menjanjikan atau sebaliknya, bisa bisa-bisa masuk kategori keranjang sampah.

Ikhwal terkait dua sebutan tadi, memang sebagai mata pelajaran anak bangsa yang sedang makan bangku sekolah. Mengacu 3 (tiga) UU di atas, kita tidak perlu mempersoalkan siapa dan mengapa ada definsi resmi yang simpang siur, tumpang tindih, serta multitafsir atau bahkan dapat diperdebatkan. Dampak dan akibat historis yuridisnya kita rasakan sampai sekarang. Si pengurus negara dengan sistem kontrak politik lima tahunan, sangat menentukan masa depan bangsa, negara dan masyarakat Indonesia.

Singkat kata, ketika kawanan parpolis menyangka, mengira dan menduga bahwa status ‘penyelenggara negara’ maupun ‘pejabat publik’ bisa diraih dengan kendaraan politik. Berbasis masuk jajaran, barisan kader parpol bisa ikut aktif di   pesta demokrasi, pemilu legislatif dan pilkara, serta di provinsi dan kabupaten/kota melalui ritual pilkada. Tak perlu merintis karir dari bawah, yang biasa dilakukan PNS yang sekarang disebut ASN. ‘Penyelenggara negara’ maupun ‘pejabat publik’ sebagai jabatan politik.

Parpol menjadi papan pelontar untuk bisa duduk manis sebagai wakil rakyat, kepala daerah maupu kepala negara.

Jer Basuki Mawa Beya mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu kebahagiaan diperlukan pengorbanan. Pengorbanan atau beya di sini dalam arti luas, yang meliputi pengorbanan biaya dan pengorbanan lain, baik materiil maupun non materiil. ‘Pengorbanan biaya’ yang mendasari marak, merebak dan suburnya politik transaksional, ideologi Rp, jual beli kursi, koalisi, politik balas jasa/balas budi sekaligus politik balas dendam. Termasuk mengadop faham ‘no free lunch’.

Bahkan untuk bisa dicalonkan oleh parpol, sebagai bakal calon legislatif, ikut pilkada, apalagi pilkara, tentu tidak gratis. Otoritas tunggal parpol ada digenggaman bandar politik. Kadar kualitas calon tidak diukur secara formal, tetapi lebih ditentukan faktor kekerabatan, kedekatan,  minimal bisa ‘menguntungkan perusahaan’. Soal pernah berjasa bisa dikesampingkan hidup-hidup.

Kalkulasi politik tak beda jauh dengan kalkulasi rupiah. Semakin melangkah, semakin argo bertambah, semakin saldo bertambah. Kontrak politik lima tahunan, semakin melegalkan modus operandi kalau bisa dikuras tuntas, kenapa harus cuma seutas demi seutas. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar