GOLONGAN KARYA DAN
PARTAI GOLKAR (renungan 2003)
Selasa, 04/03/2003 07:39
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : GOLKAR
DAN PARTAI GOLKAR
Emosi dan sentimen
rakyat NKRI acap kaku, nyaris sebagai harga mati, tak salah kalau dalam urusan
tertentu disebut mempunyai kadar toleransi murni 100%. Kekolotan ini dalam
banyak babakan kehidupan berbangsa dan bernegara malah menjadi bumerang,
menjerat kaki untuk melangkah benar, membungkam mulut untuk berkata benar,
mengelabui hatinurani untuk melihat kebenaran. Bahkan dalam format dan koridor
politik bisa meracuni masa depan, menyiapkan jebakan maut untuk anak cucu,
membuka kuburan untuk generasi penerus.
Tak perlu cari bukti
atau rekayasa lapangan, kejadiannya masih berlangsung di depan hidung kita,
terutama hidungnya Bung Akbar Tandjung (AT) si terpidana. Semangat korps
sebagai alumni HMI dan PTN-nya menyebabkan si Bung AT bisa tetap berkibar di
puncak "Pohon Beringin". Beda kalau oknum Partai Golkar ini sebagai
kader dan simpatisan NU. Gus Dur yang jadi RI 1 saja bisa dilibas hanya dengan
SI MPR. Dengan lapang dada, tak jemu-jemunya rakyat ngelus dodo sambil menahan
nafas melihat polah dan kiprah para politikus bak Bung AT. Mereka merajalela di
parlemen, membara di istana sampai tingkat pengurusan surat kematian apalagi
yang menyangkut hajat rakyat banyak. Kalau semua urusan bisa dipersulit kenapa
harus dilancarmudahkan, demikian pemeo kawanan reformis dalam menikmati
dunianya. Tak ada kaitannya dengan kenapa bisa digoyang malah dipertahankan.
JEBOLAN ORDE BARU
PKI sebagai kekuatan
dominan Nasakom, begitu memasuki babakan Orde Baru diberantas sampai cindil
abangnya. Ajaran komunis dinyatakan terlarang dan dilarang beredar dari Sabang
sampai Merauke. Sang Proklamator Soekarno terpuruk dalam tahanan kota, sampai
akhir hayatnya. Saat Orba emosi dan sentimen etnis Jawa terformat dalam kondisi
daripada ramai, lebih baik diam. Becik ketitik, olo ketoro sebagai salah
satu hiburan wong cilik menyikapi ketidakberdayaannya. Bahkan Bapak Pembangunan
Soeharto mencanangkan semboyan "mendem sing jero, mikul sing duwur".
Semboyan ini untuk mengantisipasi lengser keprabon, madep panditonya
- yang terbukti pada tanggal 21 Mei 1998.
Tuntutan hukum
terhadap Pak Harto hanya adegan formalitas ngayem-ngayemi rakyat,
sebagai penyejuk hawa reformasi senyampang rakyat repot-repot nguber sembako -
yang di atas nguber-nguber kursi. Ikhwal oplosan emosi dan sentimen bangsa wong
timur yang menyebabkan Golkar masih eksis, bahkan ganti baju menjadi Partai
Golkar (PG). Kelebihan PG karena tidak berorientasi pada tokoh atau dominasi
perorangan, tetapi sudah terpaku kuat pada birokrasi negara, terpatri kuat pada
sistem kemasyarakatan - paling tidak memanfaatkan momentum bahkan seganas-ganas
anjing tak akan mengiggit tuannya, apalagi mencaplok mentah-mentah, menelan
hidup-hidup (memangnya ular). Wacana "pejah gesang nderek Bung Karno"
langsung luntur memasuki zaman Orde Baru. Pejabat sampai rakyat yang merasa
digesangi (dihidupi) oleh Pak Harto, akan mati-matian membelanya.
Walau zaman telah
berubah. Ada beberapa fenomena alam tentang mengapa PG masih
"bermanfaat" bagi rakyat, mungkin disebabkan oleh beberapa kondisi,
yaitu :
Pertama, PG selalu siap dan siaga jadi tameng hidup, pasang
badan menjadi sasaran cecaran dan cerca atas tindak pidana Orba. Nafas
kehidupan Orba masih diselamatkan oleh PG dan menjadi bagian dari nafas
reformis. Secara struktural personal Golkar apalagi sekarang PG memang tidak
diperkuat wong cilik atau sebagai barisan sandal jepit. Kepedulian Golkar
terhadap rakyat papan bawah dibuktikan dengan membunuh hidup-hidup demokrasi
sampai benih-benihnya. Begitu rakyat bersuara langsung dipetieskan, begitu rakyat
bergerak akan berurusan dengan herdernya Golkar yang tersebar sampai tingkat
desa/kelurahan (adanya GALi = gabungan anak liar sampai munculnya Petrus, di
Yogyakarta, tahun 1970-1980-an). Intimidasi politik melalui berbagai tatanan
bermasyarakat, suhunya memuncak menjelang Hari-H pemilu. Aspirasi masyarakat
atau hati nurani rakyat disalurkan pada saat peresmian proyek-proyek oleh
presiden. Rakyat bisa berdialog langsung dengan kepala negara. Masuk PG jauh
hari sudah terpatok ambisinya, sudah terpetakan karir politiknya -tidak hanya
sebagai pengisi waktu - minimal numpang liwat bak kutu loncat. Karena sifatnya
yang tidak fanatik maka anggota PG bisa saja malang melintang di mana saja.
Secara historis struktural penyebaran wabah Golkar lebih merasuk dibanding
kanker PKI. Garis koordinasi dan garis komando yang dimiliki PG sulit disaingi
oleh parpol lainnya. Bahkan kroco-kroco PG wajib diperhitungkan keberadaannya,
mereka bisa militan bahkan tak enggan untuk berhantam kromo. Penyebaran isme PG
dengan sistem getok tular, dimulai dari sedulur, teman sekasur.
Kedua, selama Orba dimulai dari pembina, para fungsionaris,
tokoh, kader, pengurus, pimpinan, angkatan muda dan mungkin sampai simpatisan
atau underbouw Golkar mampu menghimpun dana dari berbagai sumber, dengan
berbagai cara. Dana ini kemudian mampu untuk membarter dosa-dosanya semasa
Orba. Dana pemilu sebanyak 6 pemilu yang nyaris tanpa plafond menyebabkan PG
bisa "membeli" pemilu di era Reformasi. Keunggulan sampingan, media
massa pun sebagai corong PG akan berjibaku membenarkan sepak terjang PG.
Kemampuan budgeter PG masih merupakan institusi yang belum pailit sehingga
mampu menangkal tuduhan penyalahgunaan dana Bulog-gate oleh Bung AT, dengan
pengembalian uang tersebut habis perkara. Kondisi ini memang tidak ada yang
menandingi.
Ketiga, Golkar sebagai sistem keluarga besar yang kemudian
ditinggalkan oleh famili dekatnya baik Korpri, ABRI, konglomerat atau mereka
yang menyempalkan diri dari Pohon Beringin - yang merupakan lapis
pelindungannya - menyebabkan PG rentan terhadap berbagai friksi. Transparansi
modus operandi PG justru membuktikan bahwa PG masih dihuni oleh kawanan bak
serigala, yang selalu siap dan siaga memangsa siapa saja. Menghadapi PG harus
memakai rumusan Pak Harto yaitu kalau tak bisa dipukul mau tak mau harus
dirangkul. Sempalan Golkar bisa juga merupakan afiliasi atau perpanjangan
tangan sebagai cara menyelamatkan aset yang selama ini dijarah bersama semasa
Orba. Seperti gaya Pak Harto yang mengatakan tak ada sepeserpun uang di
sakunya, padahal pemilikan berbagai asetnya bisa dengan nama lain.
Keempat, dalam format politik NKRI yang mungkin dalam kondisi
bak membeli kucing dalam karung, karungnya transparan, menyebabkan PG sebagai
acuan nyata dalam memprediksi arus bawah tanah yang siap-siap menjebak, tanpa
pandang bulu. Ada kondisi dari kelanjutan "zaman edan yen ora edan ora
keduman" menjadi format atau wacana "yen ora keduman, liyane kudu ora
keduman, podo-podo ora kedumane". Banyaknya partai politik membuktikan
dalam hal pembagian kekuasaan, semua dapat atau semua tak dapat sebagai pilihan
tegas. Merapatkan barisan atau berbagi kursi dengan lawan sebagai cara dan
strategi PG untuk memenangkan Pemilu 2004. Memecah belah lawan politik dengan
memanfaatkan momentum emosi dan sentimen dalam beragama pun sebagai sasaran
tembak PG.
Kelima, PG memang piawai dalam membagi habis
pertanggungjawaban moral atas kesalahannya semasa Orba. Partai yang sedang
berkuasa sekarang sibuk-sibuknya memposisikan diri mirip Golkar dimasa Orba.
Mereka tak sendiri, banyak kawan seiring yang terjun ke arus pembusukan secara
sistematis dan terkoordinasi. Sejarah terkadang berulang, dengan intensitas dan
kerapan yang berbeda. Tak ada rotan, akarpun jadi. Selama tak ada panutan skala
nasional maka rakyat akan berpaling pada sistem yang bisa melahirkan rasa aman,
tentram, sejahtera dan berkeadilan. Dalam kondisi di bawah bayang-bayang PDI-P
justru PG berpeluang emas dengan mencetak second opinion. Membiarkan lawan
bermain di baris pertahanannya sebagai taktik PG untuk menyodorkan pola
permainan rencana B-nya. Begitu lawan masuk perangkap langsung PG memunculkan
watak aslinya. Kalau di zaman Orba merebaknya KKN lebih banyak didominasi oleh
aparat pusat maka sebagai dampak keterbukaan KKN sudah terbiasa diselenggarakan
oleh aparat daerah.
NGIJON DOSA BERLANJUT
Berbagi fenomena alam
dan tanda zaman di atas, terdapat pula sisi kelam Golkar yang luluhnya bak half
time. Luka yang ditimbulkan sulit diobati dengan obat paten sekalipun. Barter
dosanya tak akan tertandingi dengan hutang luar negeri. Tumpukan dosanya tak
akan tertebus andai negeri ini bisa digadaikan. Kengerian dan kenyerian masih
membekas sampai 7 turunan.
Orba selain membawa
atau menanggung beban dosa Orla juga diperparah dengan dosa buatan Golkar.
Golkar secara moral politis memang identik dengan Orde Baru. Golkar memang
sebagai mesin pencetak dosa, sebagai akumulator dosa Orba. Dosa internal dosa
lebih besar dibanding dosa Orba. Golkar dengan sengaja melanggengkan
kepemimpinan nasional Orba sehingga anak cucunya mempunyai andil memperpuruk
zaman.
Sebagai ujung tombak
pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, sebagai kendaraan politik Orba
menjadikan Golkar mempunyai warisan dosa politik. Sampai kapan pun dosa ini
sulit dilupakan rakyat korban tindak tindasan kekuasaan Orba. Tata
kepemerintahan dan sistem penyelenggaraan negara era Reformasi masih di bawah
bayangan warisan dosa politik Orba. PG selain mampu membagi habis juga mampu
menularkan kiat menumpuk dosa ke parpol yang sedang bercokol. Parpol tersebut
melakukan duplikasi dosa bawaan Orba.
Bedanya kalau dulu
Golkar secara silent operation maka sekarang berbagai parpol melakukannya
secara terang benderang, terbuka blak-blakan dan transparan atau secara elegan.
Berbagai parpol dalam meraih kursi kekuasaan disemua lini dan jajaran
pemerintahan, birokrasi maupun swasta mempunyai modus operandi yang tipikal,
lagu lamanya yaitu UUD (ujung-ujungnya duit). Bahkan para alim ulama tak mau
ketinggalan kereta dalam urusan dunia.
Ukhuwah hanya sebagai
ajaran yang bisa dilenturkan, bisa untuk mengingatkan diri dan lebih bisa untuk
menyengat lawan, lebih cocok untuk menggebuk kawan. Mereka sudah siap golok
sebelum kebacok. Daripada kesodok kawan setujuan lebih baik menohok kawan
seiring, demikian AD dan ART parpol tandingan yang mengatasnamakan reformasi.
Kekonyolan ini diperkuat dengan perhitungan untung rugi finansial, ikut pemilu
atau rombak nama dan lambang partai. (Sang reformis tertawa terbahak-bahak
umpannya termakan).
WARISAN DOSA POLITIK
Seberapa jauh agenda
Reformasi mampu menebus warisan dosa politik Orba, atau mungkin malah
melanjutkannya dalam berbagai versi, ragam, format tampilan, sistem yang lebih
merata dalam kesamaan hak berpartai. Panas setahun bisa ditebus dengan hujan
sehari, tetapi dosa selama Orba apa bisa ditebus dengan gonta-ganti presiden.
Apalagi kalau (nanti) presidennya alam didik dan bakat bawaannya merupakan
wujud kembar sisi lain dari Orba dan reinkarnasi balas dendam Orla (Ingat!
Komunis sebagai isme pengikutnya akan lebih fanatik, radikal, sporadis, sadis,
menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan dibanding ummat pemeluk agama.
Mereka muncul bak
cendawan di musim hujan menunggu kesempatan.
Mereka timbul pada
saat adanya klas-klas sosial, kesenjangan sosial akibat perubahan iklim politik
yang berpihak pada penguasa.
Mereka merambah bak
gurita, tak kenal siang malam, bahkan sanak kadang bisa dilibas bila tak
sehaluan.
Mereka bermanis muka
bersantun kata bagai musang berbulu ayam.)
Bukti yang tercecer
di haribaan dan pangkuan rakyat cukup sudah untuk menjawabnya.
Bukti yang tersirat
dipenderitaan batin rakyat sudah sarat dengan saksi hidup.
Bukti yang tertera di
sekujur tubuh tanah air sulit dihapus walau dengan guyuran tinta emas
sekalipun.
Bukti yang tergores
di wajah rakyat akibat tekanan dan himpitan hidup sudah susah dirumusjabarkan.
Bukti yang tersisakan
dalam onggokan puing-puing kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan
beragama.
Bukti yang terbentang
seluas perusakan dan kerusakan lingkungan hidup sangat sulit diramalkan
dampaknya.
Bukti yang terpampang
seberserakannya cerai berai kerangka persatuan akibat beda idiologi yang masih
mungkinkah ditauteratkan kembali.
Bukti yang
terkumandangkan sampai sejarah masa depan bangsa apakah masih bisa dielakkan.
Bukti yang
terwariskan tanpa batas waktu, tanpa daya rekayasa ulang.
Akankah kita biarkan
bangsa ini tenggelam dalam lumpur dosa politik masa silam!
Akankah kita biarkan
bangsa ini larut dalam pertikaian elit politik yang tak akan
kenyang-kenyangnya!
Akankah kita biarkan
bangsa ini terkubang dalam genangan darah rakyat yang terkapar sia-sia!
Akankah kita biarkan
bangsa ini terbakar dalam bara konflik politik yang mempolitisir SARA yang
seolah tak kunjung reda!
Akankah kita biarkan
bangsa ini terlilit jerat hutang yang semakin menggunung tanpa batas ukuran!
Akankah kita biarkan
bangsa ini tertindas terlindas nafsu angkara penguasa yang mulai meninggalkan
rakyat!
Akankah kita biarkan
bangsa ini tergadaikan oleh ambisi pribadi demi kepentingan politik sesaat!
Akankah kita biarkan
bangsa ini terpuruk ke dalam krisis masa depan yang tak ada ujung akhirnya!
Kesimpulan, fluktuasi
"manfaat" PG bagi rakyat bak keberadaan air dan api. Air cukup bisa
menyejukan, kalau melimpah bisa mendatangkan malapetaka banjir. Api cukup untuk
menghangatkan, kalau berkobar bisa membakar tanpa kabar.
Berarti secara
idiologis politis bisa lebih berbahaya dibanding bahaya laten, di antara ada
dan tiada. Mungkin perolehan suara PG dalam Pemilu 2004 bisa setengahnya
perolehan rata-rata 6 pemilu di zaman Orba. Bukan berarti PG sudah mati
separuh, sudah setengah lumpuh - atau bak Kumbakarna yang mrotoli angggota
tubuhnya satu persatu ketika perang melawan Laksamana. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar