Halaman

Selasa, 07 Juli 2015

GOLONGAN KARYA DAN PARTAI GOLKAR (renungan 2003)

GOLONGAN KARYA DAN PARTAI GOLKAR (renungan 2003)
Beranda » Berita » Opini
Selasa, 04/03/2003 07:39
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : GOLKAR DAN PARTAI GOLKAR

Emosi dan sentimen rakyat NKRI acap kaku, nyaris sebagai harga mati, tak salah kalau dalam urusan tertentu disebut mempunyai kadar toleransi murni 100%. Kekolotan ini dalam banyak babakan kehidupan berbangsa dan bernegara malah menjadi bumerang, menjerat kaki untuk melangkah benar, membungkam mulut untuk berkata benar, mengelabui hatinurani untuk melihat kebenaran. Bahkan dalam format dan koridor politik bisa meracuni masa depan, menyiapkan jebakan maut untuk anak cucu, membuka kuburan untuk generasi penerus.

Tak perlu cari bukti atau rekayasa lapangan, kejadiannya masih berlangsung di depan hidung kita, terutama hidungnya Bung Akbar Tandjung (AT) si terpidana. Semangat korps sebagai alumni HMI dan PTN-nya menyebabkan si Bung AT bisa tetap berkibar di puncak "Pohon Beringin". Beda kalau oknum Partai Golkar ini sebagai kader dan simpatisan NU. Gus Dur yang jadi RI 1 saja bisa dilibas hanya dengan SI MPR. Dengan lapang dada, tak jemu-jemunya rakyat ngelus dodo sambil menahan nafas melihat polah dan kiprah para politikus bak Bung AT. Mereka merajalela di parlemen, membara di istana sampai tingkat pengurusan surat kematian apalagi yang menyangkut hajat rakyat banyak. Kalau semua urusan bisa dipersulit kenapa harus dilancarmudahkan, demikian pemeo kawanan reformis dalam menikmati dunianya. Tak ada kaitannya dengan kenapa bisa digoyang malah dipertahankan.

JEBOLAN ORDE BARU
PKI sebagai kekuatan dominan Nasakom, begitu memasuki babakan Orde Baru diberantas sampai cindil abangnya. Ajaran komunis dinyatakan terlarang dan dilarang beredar dari Sabang sampai Merauke. Sang Proklamator Soekarno terpuruk dalam tahanan kota, sampai akhir hayatnya. Saat Orba emosi dan sentimen etnis Jawa terformat dalam kondisi daripada ramai, lebih baik diam. Becik ketitik, olo ketoro sebagai salah satu hiburan wong cilik menyikapi ketidakberdayaannya. Bahkan Bapak Pembangunan Soeharto mencanangkan semboyan "mendem sing jero, mikul sing duwur". Semboyan ini untuk mengantisipasi lengser keprabon, madep panditonya - yang terbukti pada tanggal 21 Mei 1998.

Tuntutan hukum terhadap Pak Harto hanya adegan formalitas ngayem-ngayemi rakyat, sebagai penyejuk hawa reformasi senyampang rakyat repot-repot nguber sembako - yang di atas nguber-nguber kursi. Ikhwal oplosan emosi dan sentimen bangsa wong timur yang menyebabkan Golkar masih eksis, bahkan ganti baju menjadi Partai Golkar (PG). Kelebihan PG karena tidak berorientasi pada tokoh atau dominasi perorangan, tetapi sudah terpaku kuat pada birokrasi negara, terpatri kuat pada sistem kemasyarakatan - paling tidak memanfaatkan momentum bahkan seganas-ganas anjing tak akan mengiggit tuannya, apalagi mencaplok mentah-mentah, menelan hidup-hidup (memangnya ular). Wacana "pejah gesang nderek Bung Karno" langsung luntur memasuki zaman Orde Baru. Pejabat sampai rakyat yang merasa digesangi (dihidupi) oleh Pak Harto, akan mati-matian membelanya.

Walau zaman telah berubah. Ada beberapa fenomena alam tentang mengapa PG masih "bermanfaat" bagi rakyat, mungkin disebabkan oleh beberapa kondisi, yaitu :

Pertama, PG selalu siap dan siaga jadi tameng hidup, pasang badan menjadi sasaran cecaran dan cerca atas tindak pidana Orba. Nafas kehidupan Orba masih diselamatkan oleh PG dan menjadi bagian dari nafas reformis. Secara struktural personal Golkar apalagi sekarang PG memang tidak diperkuat wong cilik atau sebagai barisan sandal jepit. Kepedulian Golkar terhadap rakyat papan bawah dibuktikan dengan membunuh hidup-hidup demokrasi sampai benih-benihnya. Begitu rakyat bersuara langsung dipetieskan, begitu rakyat bergerak akan berurusan dengan herdernya Golkar yang tersebar sampai tingkat desa/kelurahan (adanya GALi = gabungan anak liar sampai munculnya Petrus, di Yogyakarta, tahun 1970-1980-an). Intimidasi politik melalui berbagai tatanan bermasyarakat, suhunya memuncak menjelang Hari-H pemilu. Aspirasi masyarakat atau hati nurani rakyat disalurkan pada saat peresmian proyek-proyek oleh presiden. Rakyat bisa berdialog langsung dengan kepala negara. Masuk PG jauh hari sudah terpatok ambisinya, sudah terpetakan karir politiknya -tidak hanya sebagai pengisi waktu - minimal numpang liwat bak kutu loncat. Karena sifatnya yang tidak fanatik maka anggota PG bisa saja malang melintang di mana saja. Secara historis struktural penyebaran wabah Golkar lebih merasuk dibanding kanker PKI. Garis koordinasi dan garis komando yang dimiliki PG sulit disaingi oleh parpol lainnya. Bahkan kroco-kroco PG wajib diperhitungkan keberadaannya, mereka bisa militan bahkan tak enggan untuk berhantam kromo. Penyebaran isme PG dengan sistem getok tular, dimulai dari sedulur, teman sekasur.

Kedua, selama Orba dimulai dari pembina, para fungsionaris, tokoh, kader, pengurus, pimpinan, angkatan muda dan mungkin sampai simpatisan atau underbouw Golkar mampu menghimpun dana dari berbagai sumber, dengan berbagai cara. Dana ini kemudian mampu untuk membarter dosa-dosanya semasa Orba. Dana pemilu sebanyak 6 pemilu yang nyaris tanpa plafond menyebabkan PG bisa "membeli" pemilu di era Reformasi. Keunggulan sampingan, media massa pun sebagai corong PG akan berjibaku membenarkan sepak terjang PG. Kemampuan budgeter PG masih merupakan institusi yang belum pailit sehingga mampu menangkal tuduhan penyalahgunaan dana Bulog-gate oleh Bung AT, dengan pengembalian uang tersebut habis perkara. Kondisi ini memang tidak ada yang menandingi.

Ketiga, Golkar sebagai sistem keluarga besar yang kemudian ditinggalkan oleh famili dekatnya baik Korpri, ABRI, konglomerat atau mereka yang menyempalkan diri dari Pohon Beringin - yang merupakan lapis pelindungannya - menyebabkan PG rentan terhadap berbagai friksi. Transparansi modus operandi PG justru membuktikan bahwa PG masih dihuni oleh kawanan bak serigala, yang selalu siap dan siaga memangsa siapa saja. Menghadapi PG harus memakai rumusan Pak Harto yaitu kalau tak bisa dipukul mau tak mau harus dirangkul. Sempalan Golkar bisa juga merupakan afiliasi atau perpanjangan tangan sebagai cara menyelamatkan aset yang selama ini dijarah bersama semasa Orba. Seperti gaya Pak Harto yang mengatakan tak ada sepeserpun uang di sakunya, padahal pemilikan berbagai asetnya bisa dengan nama lain.

Keempat, dalam format politik NKRI yang mungkin dalam kondisi bak membeli kucing dalam karung, karungnya transparan, menyebabkan PG sebagai acuan nyata dalam memprediksi arus bawah tanah yang siap-siap menjebak, tanpa pandang bulu. Ada kondisi dari kelanjutan "zaman edan yen ora edan ora keduman" menjadi format atau wacana "yen ora keduman, liyane kudu ora keduman, podo-podo ora kedumane". Banyaknya partai politik membuktikan dalam hal pembagian kekuasaan, semua dapat atau semua tak dapat sebagai pilihan tegas. Merapatkan barisan atau berbagi kursi dengan lawan sebagai cara dan strategi PG untuk memenangkan Pemilu 2004. Memecah belah lawan politik dengan memanfaatkan momentum emosi dan sentimen dalam beragama pun sebagai sasaran tembak PG.

Kelima, PG memang piawai dalam membagi habis pertanggungjawaban moral atas kesalahannya semasa Orba. Partai yang sedang berkuasa sekarang sibuk-sibuknya memposisikan diri mirip Golkar dimasa Orba. Mereka tak sendiri, banyak kawan seiring yang terjun ke arus pembusukan secara sistematis dan terkoordinasi. Sejarah terkadang berulang, dengan intensitas dan kerapan yang berbeda. Tak ada rotan, akarpun jadi. Selama tak ada panutan skala nasional maka rakyat akan berpaling pada sistem yang bisa melahirkan rasa aman, tentram, sejahtera dan berkeadilan. Dalam kondisi di bawah bayang-bayang PDI-P justru PG berpeluang emas dengan mencetak second opinion. Membiarkan lawan bermain di baris pertahanannya sebagai taktik PG untuk menyodorkan pola permainan rencana B-nya. Begitu lawan masuk perangkap langsung PG memunculkan watak aslinya. Kalau di zaman Orba merebaknya KKN lebih banyak didominasi oleh aparat pusat maka sebagai dampak keterbukaan KKN sudah terbiasa diselenggarakan oleh aparat daerah.

NGIJON DOSA BERLANJUT
Berbagi fenomena alam dan tanda zaman di atas, terdapat pula sisi kelam Golkar yang luluhnya bak half time. Luka yang ditimbulkan sulit diobati dengan obat paten sekalipun. Barter dosanya tak akan tertandingi dengan hutang luar negeri. Tumpukan dosanya tak akan tertebus andai negeri ini bisa digadaikan. Kengerian dan kenyerian masih membekas sampai 7 turunan.

Orba selain membawa atau menanggung beban dosa Orla juga diperparah dengan dosa buatan Golkar. Golkar secara moral politis memang identik dengan Orde Baru. Golkar memang sebagai mesin pencetak dosa, sebagai akumulator dosa Orba. Dosa internal dosa lebih besar dibanding dosa Orba. Golkar dengan sengaja melanggengkan kepemimpinan nasional Orba sehingga anak cucunya mempunyai andil memperpuruk zaman.

Sebagai ujung tombak pemerintahan Soeharto selama 32 tahun, sebagai kendaraan politik Orba menjadikan Golkar mempunyai warisan dosa politik. Sampai kapan pun dosa ini sulit dilupakan rakyat korban tindak tindasan kekuasaan Orba. Tata kepemerintahan dan sistem penyelenggaraan negara era Reformasi masih di bawah bayangan warisan dosa politik Orba. PG selain mampu membagi habis juga mampu menularkan kiat menumpuk dosa ke parpol yang sedang bercokol. Parpol tersebut melakukan duplikasi dosa bawaan Orba.

Bedanya kalau dulu Golkar secara silent operation maka sekarang berbagai parpol melakukannya secara terang benderang, terbuka blak-blakan dan transparan atau secara elegan. Berbagai parpol dalam meraih kursi kekuasaan disemua lini dan jajaran pemerintahan, birokrasi maupun swasta mempunyai modus operandi yang tipikal, lagu lamanya yaitu UUD (ujung-ujungnya duit). Bahkan para alim ulama tak mau ketinggalan kereta dalam urusan dunia.

Ukhuwah hanya sebagai ajaran yang bisa dilenturkan, bisa untuk mengingatkan diri dan lebih bisa untuk menyengat lawan, lebih cocok untuk menggebuk kawan. Mereka sudah siap golok sebelum kebacok. Daripada kesodok kawan setujuan lebih baik menohok kawan seiring, demikian AD dan ART parpol tandingan yang mengatasnamakan reformasi. Kekonyolan ini diperkuat dengan perhitungan untung rugi finansial, ikut pemilu atau rombak nama dan lambang partai. (Sang reformis tertawa terbahak-bahak umpannya termakan).

WARISAN DOSA POLITIK
Seberapa jauh agenda Reformasi mampu menebus warisan dosa politik Orba, atau mungkin malah melanjutkannya dalam berbagai versi, ragam, format tampilan, sistem yang lebih merata dalam kesamaan hak berpartai. Panas setahun bisa ditebus dengan hujan sehari, tetapi dosa selama Orba apa bisa ditebus dengan gonta-ganti presiden. Apalagi kalau (nanti) presidennya alam didik dan bakat bawaannya merupakan wujud kembar sisi lain dari Orba dan reinkarnasi balas dendam Orla (Ingat! Komunis sebagai isme pengikutnya akan lebih fanatik, radikal, sporadis, sadis, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan dibanding ummat pemeluk agama.
Mereka muncul bak cendawan di musim hujan menunggu kesempatan.
Mereka timbul pada saat adanya klas-klas sosial, kesenjangan sosial akibat perubahan iklim politik yang berpihak pada penguasa.
Mereka merambah bak gurita, tak kenal siang malam, bahkan sanak kadang bisa dilibas bila tak sehaluan.
Mereka bermanis muka bersantun kata bagai musang berbulu ayam.)

Bukti yang tercecer di haribaan dan pangkuan rakyat cukup sudah untuk menjawabnya.
Bukti yang tersirat dipenderitaan batin rakyat sudah sarat dengan saksi hidup.
Bukti yang tertera di sekujur tubuh tanah air sulit dihapus walau dengan guyuran tinta emas sekalipun.
Bukti yang tergores di wajah rakyat akibat tekanan dan himpitan hidup sudah susah dirumusjabarkan.
Bukti yang tersisakan dalam onggokan puing-puing kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama.
Bukti yang terbentang seluas perusakan dan kerusakan lingkungan hidup sangat sulit diramalkan dampaknya.
Bukti yang terpampang seberserakannya cerai berai kerangka persatuan akibat beda idiologi yang masih mungkinkah ditauteratkan kembali.
Bukti yang terkumandangkan sampai sejarah masa depan bangsa apakah masih bisa dielakkan.
Bukti yang terwariskan tanpa batas waktu, tanpa daya rekayasa ulang.

Akankah kita biarkan bangsa ini tenggelam dalam lumpur dosa politik masa silam!
Akankah kita biarkan bangsa ini larut dalam pertikaian elit politik yang tak akan kenyang-kenyangnya!
Akankah kita biarkan bangsa ini terkubang dalam genangan darah rakyat yang terkapar sia-sia!
Akankah kita biarkan bangsa ini terbakar dalam bara konflik politik yang mempolitisir SARA yang seolah tak kunjung reda!
Akankah kita biarkan bangsa ini terlilit jerat hutang yang semakin menggunung tanpa batas ukuran!
Akankah kita biarkan bangsa ini tertindas terlindas nafsu angkara penguasa yang mulai meninggalkan rakyat!
Akankah kita biarkan bangsa ini tergadaikan oleh ambisi pribadi demi kepentingan politik sesaat!
Akankah kita biarkan bangsa ini terpuruk ke dalam krisis masa depan yang tak ada ujung akhirnya!

Kesimpulan, fluktuasi "manfaat" PG bagi rakyat bak keberadaan air dan api. Air cukup bisa menyejukan, kalau melimpah bisa mendatangkan malapetaka banjir. Api cukup untuk menghangatkan, kalau berkobar bisa membakar tanpa kabar.


Berarti secara idiologis politis bisa lebih berbahaya dibanding bahaya laten, di antara ada dan tiada. Mungkin perolehan suara PG dalam Pemilu 2004 bisa setengahnya perolehan rata-rata 6 pemilu di zaman Orba. Bukan berarti PG sudah mati separuh, sudah setengah lumpuh - atau bak Kumbakarna yang mrotoli angggota tubuhnya satu persatu ketika perang melawan Laksamana. (hn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar