Halaman

Kamis, 09 Juli 2015

Mencari Format Keluarga Islami

Mencari Format Keluarga Islami

Sopan Kata    
Sore itu, dari teras tetangga secara tak sengaja kudengar Nita, anak klas 6 SD, berbicara dengan suara yang manis, sopan, ramah dan akrab dengan seeorang. Menarik, jarang terjadi, karena kesehariannya kalau Nita bicara dengan kakaknya, orang tuanya maupun embahnya acap menggunakan frekuensi tinggi.

Semakin penasaran, tidak jelas sosok lawan bicara Nita, embahnya bukan, teman sekolah bukan. Sengaja kudekati, ternyata di depan Nita duduk nyaman seekor kucing sambil mengibaskan ekornya. Mereka berdua akrab berkomunikasi dua arah.

Nyaris tiap sore, jika orang tuanya pulang kerja, Nita tak peduli, tetap main dengan temannya. Dipanggil dengan teriakan, dibalas dengan teriakan yang tak kalah nyaringnya. Kerja di pabrik, mengimbangi suara bising mesin terbiasa bicara keras dan jarak jauh. Embahnya Nita yang pensiunan serdadu, suara lantang sudah bukan barang baru. Jelang tidur, Nita ditanya orang tuanya soal PR berbuntut ribut. Susah dibangunkan pagi, Nita mengomel belum kerjakan PR. Berbicara dengan bertengkar susah dibedakan, sembarang waktu dan tempat.

Apakah zaman sudah beredar cepat, hubungan dan dinamika kehidupan dalam keluarga seperti di pasar. Apakah masuk kategori keluarga gaul. Apakah karena suami isteri kerja. Apakah sebagai dampak anak sudah berkeluarga masih numpang orang tuanya. Temparemen keluarga bukan jawaban. Diteropong dengan kacamata budi pekerti, sedikit banyak bisa kita urai jalannya masalah.

Hakekat Keluarga     
Keluarga seperti apa yang akan kita wujudkan, khususnya untuk menghindari terwujudnya masalah keluarga sebagai kebiasaan turun-temurun, sebagai bawaan  lahir batin, sebagai sajian dan menu harian, sebagai dampak bangunan rumah tinggal dan lingkungan. 
 
Apakah kita mengikuti anjuran dan ketetapan formal dalam UU 52/2009, tertanggal 29 Oktober 2009, tentang “PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA”, khususnya pada pengertian Keluarga, Pembangunan Keluarga, Keluarga Berkualitas serta Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga. Pasal 1 butir 6 menyuratkan : 
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
 
Sebagai warga negara, umat Islam bisa memadukan pasal dalam UU 52/2009 dengan sabda Rasulullah SAW : "Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (isteri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit." (HR Ibnu Hibban) 
 
Keluarga atau rumah tangga sebagai komponen utama pembentuk bangsa, dimulai dari kawasan permukiman atau lingkungan tempat tinggal. Rukun Tetangga dibentuk sebagi bentuk perwujudan adab bertetangga. Secara formal Pasal 1 butir 7 UU 1/2011, tertanggal 12 Januari 2011, tentang “PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN” menyuratkan :
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
 

Pasangan suami isteri diharapkan mempunyai rumah untuk membentuk rumah tangga, khususnya untuk mewujudkan rumah tangga bahagia. Rumah tangga sebagai wadah interaksi anggota keluarga. Kita mengacu sabda Rasulullah SAW : "Apabila Allah menghendaki, maka rumah tangga yang bahagia itu akan diberikan kecenderungan senang mempelajari ilmu-ilmu agama, yang muda-muda menghormati yang tua-tua, harmonis dalam kehidupan, hemat dan hidup sederhana, menyadari cacat-cacat mereka dan melakukan taubat." (HR Dailami dari Abas r.a). [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar