Halaman

Minggu, 26 Juli 2015

Dosa, Bukan Sekedar Dicatat Malaikat

Dosa, Bukan Sekedar Dicatat Malaikat

Sejak saya mulai belajar agama Islam saat di Sekolah Rakyat (sekarang SD), diperkuat ikut pengajian anak di masjid Syuhada, kota Yogyakarta, saya menerima sekaligus meyakini penjelasan guru agama bahwa ada malaikat Raqib yang bertugas mencatat perbuatan baik manusia sekaligus ada malaikat ‘Atid yang bertugas mencatat perbuatan buruk manusia. Malaikat Raqid selalu berada di kanan kita. Malaikat ‘Atid selalu berada di kiri kita. Mencatat, diibaratkan membuat buku raport untuk semua mata pelajaran. Dibaginya di akhirat, setelah manusia wafat. Raport yang akan menentukan nasib manusia, jadi penghuni surga atau mendekam di neraka.

Merasa ada yang ‘mengawasi’ gerak-gerik bahkan guman dan celetuk yang keluar dari mulut, siang malam, dimanapun, kapanpun, bisa menjadikan saya salah tingkah. Atau memanfaatkan keberadaan Raqib dan ‘Atid, sehingga saya bisa selektif, pilah-pilih untuk berpikir, bertindak dan berucap. Sebagai alat saring untuk menghasilkan yang baik dan benar. Susah dan sulitnya jika menghadapi teman yang serba bebas. Untungnya, saat itu tata krama, budi pekerti, sopan-santun masih laku keras di kota Budaya, kota Pelajar dan kota Gudeg.

Proses perjalanan waktu, mempraktekkan agama harus berdasarkan ilmu. Utamakan ilmu dari guru, melalui majelis dakwah atau apapun bentuknya. Otodidak dimungknikan untuk menambah wawasan dan dijadikan bahan diskusi. Manusiawi, susbtansi agama yang kita terima pertama kali, menjadi acuan dan pegangan utama. Kita laksanakan secara total, tanpa “membantah”. Tanpa mengotak-atik berdasarkan logika, akal dan nalar. Tanpa mencari alternatif atau tanpa menggali kandungan maknanya.

Puluhan tahun kemudian, ketika ‘saya’ hanya satu dari puluhan juta manusia di Indonesia, makna ‘catatan amal manusia’ atau raport kelakuan manusia ternyata dibuka di dunia. Dampak akumulasi kelakuan manusia dapat dirasakan di dunia, tanpa menunggu pengadilan akhirat. Allah menampakkan kesalahan manusia tanpa menunggu hari kiamat. Hal ini sudah tersirat dalam Al-Qur’an, yaitu [QS Taghabuun (64) : 11] : Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini sebagai peringatan kepada manusia agar berhati-hati terhadap kehidupan dunia. Surah dan ayat lain menjelaskan, terkait musibah, Allah memaafkan sebagian besar dosa hamba-Nya. [QS Asy Syuura (42) : 30] : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”

‘Perbuatan tanganmu sendiri’ berlaku bagi umat Islam secara individu maupun secara komunal, berjamaah atau skala bangsa dan negara. Pengertian ‘musibah’ diterjemahkan berdasarkan logika, akal dan nalar manusia masuk kategori ‘bencana’. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” (pasal 1, butir 1, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Musibah bisa dimaknai sebagai ujian bagi hamba Allah.

Tidak hanya perbuatan tangan yang mengundang musibah, apa yang kita ucapkan bisa berbuah musibah dengan kadar tertentu. Artinya, kita harus cerdas berbahasa lisan, arif dalam menggunakan mulut dan lidah untuk bicara. Gerak-gerik manusia dan perkataannya dicatat oleh para malaikat, sesuai  [QS Qaaf (50) : 16 s.d 18] : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”

Semua perbuatan manusia dicatat oleh malaikat dan akan mendapat balasan yang seimbang, berdasarkan [QS Al Infithaar (80) : 10 s.d 12] : Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ucap dan tindakan mempunyai posisi strategis dalam agama Islam. Bersyukur atas segala nikmat-Nya yang kita terima, melalui ucapan mulut dan direalisasikan, diwujudkan dengan berbagai tindakan nyata, terencana dan berkelanjutan. bahkan yang bersifat rahasia untuk ukuran manusia, tak luput dari liputan Allah, kita simak [QS Az Zukhruf (43) : 80] : Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.”

Apa arti sebuah nama, menurut berbagai sumber sebenarnya tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Al Qur’an atau hadits/sunnah Rasululllah saw yang menyatakan bahwa dua malaikat ‘pencatat amal’ bernama Raqib dan ‘Atid, hanya Kirâman Kâtibîn saja yang disebutkan di dalam 3 (tiga) surah di atas. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dicatat hanyalah yang bernilai pahala dan dosa. Akhir tulisan ini, walau belum berakhir yaitu jangan lupa bahwa niat dalam hati merupakan hakekat dari amal perbuatan seseorang karena itulah yang menjadi fokus penilaian Allah SWT. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar