Dosa, Bukan Sekedar Dicatat Malaikat
Sejak saya mulai belajar agama Islam saat di Sekolah Rakyat
(sekarang SD), diperkuat ikut pengajian anak di masjid Syuhada, kota
Yogyakarta, saya menerima sekaligus meyakini penjelasan guru agama bahwa ada
malaikat Raqib yang bertugas mencatat perbuatan baik manusia sekaligus ada
malaikat ‘Atid yang bertugas mencatat perbuatan buruk manusia. Malaikat Raqid
selalu berada di kanan kita. Malaikat ‘Atid selalu berada di kiri kita.
Mencatat, diibaratkan membuat buku raport untuk semua mata pelajaran. Dibaginya
di akhirat, setelah manusia wafat. Raport yang akan menentukan nasib manusia,
jadi penghuni surga atau mendekam di neraka.
Merasa ada yang ‘mengawasi’ gerak-gerik bahkan guman dan celetuk
yang keluar dari mulut, siang malam, dimanapun, kapanpun, bisa menjadikan saya
salah tingkah. Atau memanfaatkan keberadaan Raqib dan ‘Atid, sehingga saya bisa
selektif, pilah-pilih untuk berpikir, bertindak dan berucap. Sebagai alat
saring untuk menghasilkan yang baik dan benar. Susah dan sulitnya jika
menghadapi teman yang serba bebas. Untungnya, saat itu tata krama, budi pekerti,
sopan-santun masih laku keras di kota Budaya, kota Pelajar dan kota Gudeg.
Proses perjalanan waktu, mempraktekkan agama harus berdasarkan
ilmu. Utamakan ilmu dari guru, melalui majelis dakwah atau apapun bentuknya. Otodidak
dimungknikan untuk menambah wawasan dan dijadikan bahan diskusi. Manusiawi,
susbtansi agama yang kita terima pertama kali, menjadi acuan dan pegangan
utama. Kita laksanakan secara total, tanpa “membantah”. Tanpa mengotak-atik
berdasarkan logika, akal dan nalar. Tanpa mencari alternatif atau tanpa
menggali kandungan maknanya.
Puluhan tahun kemudian, ketika ‘saya’ hanya satu dari puluhan juta
manusia di Indonesia, makna ‘catatan amal manusia’ atau raport kelakuan manusia
ternyata dibuka di dunia. Dampak akumulasi kelakuan manusia dapat dirasakan di
dunia, tanpa menunggu pengadilan
akhirat. Allah menampakkan kesalahan manusia tanpa menunggu hari kiamat. Hal
ini sudah tersirat dalam Al-Qur’an, yaitu [QS Taghabuun (64) : 11] : “Tidak
ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini sebagai peringatan kepada manusia agar berhati-hati terhadap kehidupan dunia.
Surah dan ayat lain menjelaskan, terkait musibah, Allah memaafkan sebagian
besar dosa hamba-Nya. [QS Asy Syuura (42) : 30] : “Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).”
‘Perbuatan
tanganmu sendiri’ berlaku bagi umat Islam secara
individu maupun secara komunal, berjamaah atau skala bangsa dan negara. Pengertian
‘musibah’ diterjemahkan berdasarkan logika, akal dan nalar manusia masuk kategori ‘bencana’. Bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” (pasal 1,
butir 1, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana). Musibah bisa dimaknai
sebagai ujian bagi hamba Allah.
Tidak hanya perbuatan tangan yang mengundang musibah, apa yang kita
ucapkan bisa berbuah musibah dengan kadar tertentu. Artinya, kita harus cerdas
berbahasa lisan, arif dalam menggunakan mulut dan lidah untuk bicara. Gerak-gerik manusia
dan perkataannya dicatat oleh para malaikat, sesuai [QS Qaaf (50) : 16 s.d 18] : “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah
kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Semua
perbuatan manusia dicatat oleh malaikat dan akan mendapat balasan yang seimbang,
berdasarkan [QS Al Infithaar (80) : 10 s.d 12] : “Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),
yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ucap dan
tindakan mempunyai posisi strategis dalam agama Islam. Bersyukur atas segala
nikmat-Nya yang kita terima, melalui ucapan mulut dan direalisasikan,
diwujudkan dengan berbagai tindakan nyata, terencana dan berkelanjutan. bahkan
yang bersifat rahasia untuk ukuran manusia, tak luput dari liputan Allah, kita simak [QS Az Zukhruf (43) : 80] : “Apakah
mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu
mencatat di sisi mereka.”
Apa arti
sebuah nama, menurut berbagai sumber sebenarnya tidak ada penjelasan
lebih lanjut dari Al Qur’an atau hadits/sunnah Rasululllah saw yang menyatakan
bahwa dua malaikat ‘pencatat amal’ bernama Raqib dan ‘Atid, hanya Kirâman
Kâtibîn saja yang disebutkan di dalam 3 (tiga) surah di atas. Ada ulama
yang mengatakan bahwa yang dicatat hanyalah yang bernilai pahala dan dosa.
Akhir tulisan ini, walau belum berakhir yaitu jangan lupa bahwa niat dalam
hati merupakan hakekat dari amal perbuatan seseorang karena itulah yang menjadi
fokus penilaian Allah SWT. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar