revolusi mental Nusantara, menjadi presiden saja vs menjadi
presiden banget
Cukup pakai logika Jawa yaitu otak-atik matuk. Penerawangan
wong Jawa mampu ‘menembus’ batas waktu dan ruang, tanpa komat-kamit baca
mantera, tanpa bolak-balik primbon, tanpa kepulan asap dupa. Walau tak
ada kaitan dan ikatan moral dengan weruh sadurunging winarah.
Ayam jago berkokok di malam hari, sebagai pertanda. Burung
prenjak berkicau bebas di alam, sebagai pertanda. Kupu-kupu terbang masuk
rumah, sebagai pertanda. Cicak vs Buaya, sebagai pertanda. Serigala berbulu
domba, musang berbulu ayam, kambing bertanduk banteng, dianggap lumrah di
industri politik Nusantara. Bahkan sebagai penyegar syahwat politik Nusantara. Sebagai
dinamika politik Nusantara menyemarakkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain serba berpasangan, kehidupan manusia di dunia
serba paralel. Kalau norma ini diterjang, dampaknya nyata di depan mata kita. Jika
ada pihak yang mendominasi atau merasa lebih mulia, seperti iblis enggan dan
takabur tidak mau menghormati dan memuliakan Adam, tak ayal kehidupan politik
terbuang dari akarnya, tercerabut dari akarnya.
2014-2019, politik menjadi panglima, politik sebagai
berhala dunia yang bisa mendatangkan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan. Kepala negara
atau presiden, pilihan mayoritas rakyat, terkebiri dan terbingkai oleh sistem
politik banci. Dominasi mayoritas, tidak. Tirani minoritas, tidak. Akhirnya,
Jokowi memposisikan dirinya sebagai Jokowi-Jokowian. Presiden-presidenan.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar