Halaman

Sabtu, 11 Juli 2015

revolusi mental Nusantara, menjadi presiden saja vs menjadi presiden banget

revolusi mental Nusantara, menjadi presiden saja vs menjadi presiden banget

Cukup pakai logika Jawa yaitu otak-atik matuk. Penerawangan wong Jawa mampu ‘menembus’ batas waktu dan ruang, tanpa komat-kamit baca mantera, tanpa bolak-balik primbon, tanpa kepulan asap dupa. Walau tak ada kaitan dan ikatan moral dengan weruh sadurunging winarah.

Ayam jago berkokok di malam hari, sebagai pertanda. Burung prenjak berkicau bebas di alam, sebagai pertanda. Kupu-kupu terbang masuk rumah, sebagai pertanda. Cicak vs Buaya, sebagai pertanda. Serigala berbulu domba, musang berbulu ayam, kambing bertanduk banteng, dianggap lumrah di industri politik Nusantara. Bahkan sebagai penyegar syahwat politik Nusantara. Sebagai dinamika politik Nusantara menyemarakkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain serba berpasangan, kehidupan manusia di dunia serba paralel. Kalau norma ini diterjang, dampaknya nyata di depan mata kita. Jika ada pihak yang mendominasi atau merasa lebih mulia, seperti iblis enggan dan takabur tidak mau menghormati dan memuliakan Adam, tak ayal kehidupan politik terbuang dari akarnya, tercerabut dari akarnya.


2014-2019, politik menjadi panglima, politik sebagai berhala dunia yang bisa mendatangkan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan. Kepala negara atau presiden, pilihan mayoritas rakyat, terkebiri dan terbingkai oleh sistem politik banci. Dominasi mayoritas, tidak. Tirani minoritas, tidak. Akhirnya, Jokowi memposisikan dirinya sebagai Jokowi-Jokowian. Presiden-presidenan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar