Ketika pembantu
presiden menghina presiden,
siapa
dulu bandar politiknya
Industri politik, panggung
politik Nusantara didominasi oleh nafsu syahwat politik dan hasil manipulasi
aroma irama politik. Gaduh, gempa, gegar, geger politik maupun gejala, gejolak,
geliat politik jika diterapkan atau ditakar sesuai kuadran “TAHU-BISA”, ternyata
telah masuk kuadran “DIA TIDAK TAHU BAHWA DIA TIDAK BISA”.
Otak, akal, nalar, logika,
naluri, insting politik anak bangsa Indonesia berbasis ideologi Rp. Politik transaksional
melahirkan koalisi politik, yaitu KIH dan KMP. Rakyat Indonesia sudah mahfum,
mana yang wakil aliran, golongan, ilmu hitam dan mana yang duta aliran,
golongan, ilmu putih. Akhirnya, pelanduk mati di tengah.
Emansipasi wanita, pengarusutamaan
gender, persamaan hak kaum hawa dengan hak kaum adam, atau apapun nama
heroiknya. Fakta dan kenyataan di lapangan, mulai kasus menelantarkan anak
angkat yang berbuntut penghilangan nyawa orang lain secara sengaja sampai peran
wanita setingkat bandar politik.
Bukan berarti, ketika ‘konco
wingking’, ibarat “swargo
nunut, neroko katut” ketika diberi kuasa, ketika dibebani peran sebagai ‘imam’,
semua tergantung iman dan minat, niat, itikad ybs. Artinya, peran sosial
perempuan sudah ada porsi dan proporsinya. Tegasnya, kaum perempuan tidak hanya
mengurusi persoalan yang berkaitan dengan wilayah domestik (domestic sphere),
bisa punya andil, saham dan konytribusi untuk
wilayah publik (public sphere) yang dikerjakan kaum laki-laki.
Jika
di zaman Orde Baru, marak pemeo ‘kencangkan ikat pinggang’ terkait suhu ekonomi
dalam negeri sebagai imbas ekonomi global. Sekarang, di sisa periode 2014-2019,
rakyat wajib kenakan, pasang dan pakai sabuk pengaman. Panjatkan doa sesuai
agama masing-masing. Siapa tahu Nusantara akan mendarat darurat, berbalik arah
ke landasan lepas landas atau tidak bisa sampai tujuan alias turun di tengah
jalan. Politik belum
jatuh tempo atau belum balik modal.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar