ketika anakku berbagi lauk makanan
Tempat kerja yang jauh dari rumah, akhirnya anakku memutuskan
indekos dekat kantornya. Lokasi kosan dekat kantor, artinya dapat dijangkau
dengan naik sepeda kayuh. Postur tubuh yang lebih tinggi dan besar dibanding
kakaknya, tak menjadikan anak bungsuku merasa lebih. Bahkan kolokan, terlebih
kalau sudah dekat dan menempel ibunya. Saya hanya menjadi penonton. Bagai anak
ayam berlindung di balik sayap induknya. Bedanya, anak saya lebih besar
dibanding ibunya. Untung, kedua kakaknya tidak protes terhadap sikap adiknya
yang memonopoli ibunya.
Bukan sekedar asupan gizi dan nutrisi yang membuat badan mengembang
ke segala penjuru. Ukuran sepatu di atas rata-rata ukuran sepatu Hawa pada
umumnya. Santapannya tidak porsi kuli atau bahkan di bawah standar makan sesuai
usia. Cuma cara makan yang terlihat nikmat dan enak. Secuwil demi secuwil
makanan dilahapnya. Ekspresi wajahnya nampak sedang menikmati makanan. Kalau
tidak habis disimpan di kulkas. Betah lama berdiri di depan kulkas, mencuwili
makanan yang ada.
Jika aku makan, diliriknya apa saja lauknya. Kalau tertarik, walau
sudah makan, dengan santai minta bagian atau diambil semua. Sejak kecil sudah
kuat puasa Ramadhan. Sampai sekarang, usai lulus S1 dan bekerja, tidak lupa
puasa sunnah. Termasuk puasa tengah bulan juga dijalankan.
Sabtu libur, jum’at malam usai kantor anakku langsung ke rumah. Turun
di stasiun kereta api, tunggu dijemput ibunya yang pulang kantor. Mau ketemu
ortu, katanya. Baca sms-nya : “aku bawakan lauk untuk bpk”. Sebagai tindakan
sepele tapi maknanya tidak sepele. Aku bayangkan, makan siang bekal sendiri,
bisa-bisa bisa kurang. Orang kerja ‘peras otak’ membutuhkan kalori, energi dan
gizi yang seimbang. Namanya anak, cara membuktikan perhatian ke bapaknya,
dengan gaya dan maunya.
“Ini untuk bapak”, ujar anakku sambil menyodorkan box makanan. Semakin
berbinar wajahnya, jika aku langsung
makan malam dengan lauknya. Lauk makan siang, sengaja tidak dihabiskan, untuk
bapaknya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar