fenomena pilkada
serentak : calon tunggal-calon boneka-calon titipan
Media massa dengan format acara, adegan, atraksi berbasis
dialog, diskusi, debat; lembaga survei pesanan yang bersemboyan ‘girang melihat
orang lain meradang, meradang melihat orang lain girang’ berhasil menambah khazanah
dan perbendaharaan politik Nusamtara. Makanya saya ungkit dan angkat menjadi
judul di atas.
Tak urung, wapres 2014-2019 gemar menyoal isitilah calon
tunggal maupun calon boneka. Analisanya memang oke, apalagi celoteh, celetuknya
dilatarbelakangi pengalaman sebagai mantan ketua umum Partai Golongan Karya. Orang
belajar dari sejarah betapa penguasa tunggal Orde Baru dengan akalnya mampu
menunggangi, mengkangkangi dan mengendalikan Golongan Karya, mengantarnya jadi
presiden liwat beberapa kali pemilu. MPR yang tahu diri, tahu posisi tanpa
diminta, didikte, ditelpon – atas kehendak rakyat – menetapkan Suharto sebagai
presiden.
Ada beberapa pasangan calon dari perseorangan
ikut daftar pilkada serentak, semakin membuktikan bahwa partai politik bukan
jamainan mutu, jaminan halal, jaminan tidak luntur. Asal jangan ada penguasa
tunggal, raja-raja kecil, trah dinasti politik, kapling politik Nasional,
politik transaksional pengusung, pendukung Jokowi-JK di tingkat kabupaten/kota,
maka diharapkan rakyat yang melek politik bisa hidup layak, aman dan nyaman.
betul-betul dibutuhkan selama lima tahun, bukan lima menit saat coblosan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar